Sekitar 200 peserta mengikuti acara ini, mayoritas berasal dari sekolah inklusi di Surabaya. Mereka dilibatkan dalam kegiatan seni bersama anak-anak autis seperti menghias tumpeng dan melukis kolase—mendorong interaksi setara dan empati sejak dini.
“Kami ingin masyarakat tahu apa itu autisme, menerima kehadiran anak-anak autis, dan memahami bagaimana mendampingi mereka,” lanjut Edison. Ia juga menekankan pentingnya edukasi tak hanya untuk anak, tapi juga guru dan orang tua.
Aksi simbolis berupa cap telapak tangan di tempat sampah dan kaos peserta menjadi pengingat bahwa prevalensi autisme kini cukup tinggi: 1 dari setiap 50 kelahiran.