Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Gisik melakukan perjalanan dakwah ke tanah Jawa bersama ayah dan adiknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sunan Gisik adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan adiknya bernama Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel). Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar. Akan tetapi, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Selanjutnya Sunan Gisik meneruskan perjalanannya, beliau berdakwah keliling ke daerah Madura disini beliau mendapat sebutan “Sunan Lembayung”. Beliau juga berdakwah di Nusa Tenggara hingga ke Bima, disana beliau mendapat sebutan “Raja Pandhita Bima”. Banyak diantara keturunan beliau menjadi penyebar agama Islam dan juga raja baik di Madura maupun di Nusa Tenggara. Dalam rantai silsilah Raja Bima yang tercantum dalam Bo’ sangaji Kai, beserta penjelasan-penjelasannya, kita akan dibuat sedikit terkejut dengan munculnya nama-nama dan istilah islam yang disebutkan. Hal ini dapat dijumpai pada kepemimpinan Rumata Mawa’a Bilmana.
Jadi sebelum Abdul Kahir I, kerajaan Bima pernah dipimpin oleh seorang Raja Muslim, yakni Sunan Gisik sendiri. Nama beliau kurang terekam secara maknawiyah dalam dialek Bima saat itu, karena catatan mengenai beliau justru ada dalam riwayat resmi keturunan para walisongo. Dalam catatan sejarah menjelaskan bahwa beliau merupakan penyebar agama Islam pertama di Nusa Tenggara Barat yang kelak menjadi pondasi cikal bakal kerajaan Bima yang bernafaskan Islam “Ahlussunah wal Jamaah”.