Dalam penggalan cerita, langit Tebuireng memerah. Asap pekat membumbung tinggi, sementara api melahap habis atap dan dinding pesantren. Pesantren yang telah berdiri selama 14 tahun itu kini hampir rata dengan tanah. Abu dan sisa-sisa bangunan yang hangus menjadi saksi bisu. Para santri tak kuasa menahan tangis.
"Kitab-kitab kita! Semua terbakar!" seru seorang santri dengan suara gemetar.
"Bagaimana kita akan belajar sekarang?" yang lain meratap.
Kompeni tertawa puas.
Kaum santri berduka.
Namun, duka itu berubah menjadi kemarahan. Kabar pembakaran Pesantren Tebuireng segera menyebar. Jombang terperangah. Media seperti Penyebar Semangat menuliskan tragedi ini. Para ulama dari berbagai daerah, mulai dari Jawa hingga Madura, mulai bersuara.
"Ini penghinaan! Ulama kita dilecehkan!" seru seseorang dalam perkumpulan santri.
"Pesantren dibakar, apakah kita akan tinggal diam?"
"Tentu tidak! Kita harus melawan!"
Namun, di antara semangat yang berkobar, muncul pertanyaan-pertanyaan mengguncang:
"Beranikah kita melawan kompeni?"
"Apa yang bisa kita lakukan sebagai santri?"
"Bagaimana jika pesantren kita terus dihancurkan?"
Tetapi satu hal pasti: Pesantren Tebuireng tidak akan mati.