JAKARTA, PustakaJC.co – Menteri Agama Nasaruddin Umar memperkenalkan Kurikulum Berbasis Cinta sebagai solusi memperkuat pendidikan inklusif, moderasi beragama, dan perlindungan hak-hak minoritas di Asia.
Gagasan itu disampaikan saat menjadi pembicara kunci dalam Inter Religious Conference on Freedom of Religion and Rights of Religious Minorities in Asia yang digelar Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bersama Christian Conference of Asia (CCA) di Jakarta. Dilansir dari kemenag.go.id, Kamis, (18/9/2025).
“Kesatuan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus ditumbuhkan melalui fondasi moral yang lebih dalam daripada politik atau ekonomi. Fondasi itu adalah budaya cinta,” tegas Menag, Rabu, (17/9/2025).
Menurutnya, kurikulum ini bukan sekadar teori, melainkan praktik sehari-hari berbasis empati, kasih sayang, dan rasa hormat. Salah satu contoh nyata adalah pembangunan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral Jakarta.
“Masjid Istiqlal bukan hanya untuk Muslim, tapi pusat kemanusiaan. Kurikulum ini metafora hidup tentang apa yang Indonesia inginkan: agama tidak saling berlawanan, melainkan bekerja sama,” ujarnya.
Menag menyoroti tantangan intoleransi dan diskriminasi yang masih dialami kelompok minoritas di Asia. Ia menekankan bahwa pendidikan berbasis kasih sayang menjadi kunci melahirkan generasi yang menolak kekerasan dan menjunjung tinggi kemanusiaan.
“Melindungi kebebasan beragama bukan hanya kewajiban konstitusional, tetapi juga tugas spiritual. Setiap penghormatan atas hak asasi manusia adalah refleksi kasih sayang kepada Tuhan,” pungkasnya.
Konferensi ini dihadiri Sekretaris Jenderal CCA Mathews George Chunakara, Ketua Umum PGI Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty, serta perwakilan lintas negara Asia. (ivan)