SURABAYA, PustakaJC.co - Kekerasan seksual di pengungsian merupakan salah satu bentuk risiko yang menempatkan anak dan perempuan rentan menjadi korban. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk Kekerasan Berbasis Gender (KBG).
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Restu Novi Widiani, mengatakan, kekerasan ini terjadi karena masih adanya sebagian masyarakat menilai bahwa bentuk bentuk pelecehan tertentu dianggap biasa dan tidak perlu dipermasalahkan.
Mengacu pada pengalaman di beberapa wilayah bencana, yang menunjukkan adanya fenomena kekerasan berbasis gender, maka mitigasi risiko kekerasan berbasis gender menjadi kebutuhan yang sama pentingnya dengan penyediaan tenda pengungsian maupun konsumsi. Dampak kekerasan seksual sangat berat, bahkan dapat menghancurkan masa depan korban.
Kepala Bidang KG DP3AK Jatim, One Widyawati ,menjelaskan LPA Tulungagung sebagai mitra pelaksana UNICEF Indonesia, berkolaborasi dengan DP3AK Jawa Timur, berkomitmen mendukung upaya mitigasi risiko kekerasan berbasis gender dan perlindungan dari eksploitasi dan perlakuan salah seksual dalam situasi bencana.
Ada 5 (lima) pokok bahasan yang dihasilkan dari Workshop Mitigasi Risiko Kekerasan Berbasis Gender di Provinsi Jawa Timur, meliputi rumusan tentang kriteria pemberi layanan atau garda depan di pengungsian, dimana perlu adanya pelatihan tentang mitigasi risiko KBG bagi para pemberi layanan di pengungsian untuk bisa memastikan petugas paham dan tidak melakukan KBG. Selain itu, dari OPD yang terlibat langsung dalam penanganan pengungsi juga perlu mendapatkan pelatihan mitigasi risiko KBG agar dapat membuat kebijakan-kebijakan dan program-program yang meminimalisir risiko terjadinya KBG.
Setiap petugas pemberi layanan juga diharapkan menandatangani kesepakatan untuk tidak melakukan KBG serta melakukan upaya pencegahan eksploitasi dan perlakuan salah seksual (PEPSS) maupun melakukan upaya mitigasi KBG.
Selain itu juga mengidentifikasi kebutuhan penguatan kapasitas bagi anak, perempuan dan masyarakat agar mampu melindungi diri dari kekerasan berbasis gender. Mengembangkan bahan bagi pendamping untuk menfasilitasi masyarakat termasuk anak agar mampu mencegah terjadinya KBG.
Begitupun tata kelola sarana dan prasana yang mencegah terjadinya kekerasan seksual. Antara lain seperti penataan toilet terpisah, tidak berhadapan termasuk pemisahan jalan masuk ke toilet, pemisahan atau sekat saat tidur, penerangan, tata tertib dalam komunikasi antar pengungsi dan pengungsi dengan relawan ditujukan mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender.
Menurut One Widyawati, tata tertib dan kesepakatan yang perlu disusun di lokasi-lokasi pengungsian meliputi tata tertib bagi penghuni pengungsian, tata tertib bagi media, penduduk dan donatur yang datang ke lokasi pengungsian. Bagi penghuni pengungsian, perlu dibuat tata tertib keluar/masuk lokasi pengungsian, penggunaan kamar mandi, penggunaan ruang bermain anak, tata tertib saat makan, menjaga kebersihan tenda, dan tata tertib kegiatan di lokasi pengungsian.
Pembentukan satgas anti kekerasan di situasi bencana dari unsur satgas tagana, peksos, dan Dinas PPPA untuk memastikan kebijakan-kebijakan untuk mitigasi risiko KBG dapat dijalankan. Selain itu juga penyepakatan mekanisme pelaporan sebagai respon kasus KBG khususnya di situasi pengungsian.
Dari hasil workshop Mitigasi risiko Kekerasan berbasis Gender ditindaklanjuti dengan Pelatihan Penguatan Kapasitas 40 pendamping pengungsian bencana erupsi Semeru. Selanjutnya perencanaan akan dikoordinasikan Dinas Dalduk KBPP Lumajang untuk direalisasikan dengan bimbingan DP3AK Provinsi Jawa Timur. (ayu)