MOJOKERTO, PustakaJC.co - Jurnalis bukan hanya pelapor peristiwa, tapi juga penjaga ketahanan informasi saat bencana. Inilah semangat yang diusung Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur dalam kegiatan Jurnalis Tangguh Bencana, Selasa–Rabu (29–30 Juli 2025), di kawasan Pemandian Air Panas Alam Cangar, Pacet, Mojokerto.
Sebanyak puluhan jurnalis dari Pokja Grahadi dan Pokja Indrapura mengikuti pelatihan kebencanaan yang digelar BPBD Jatim. Kegiatan ini dirancang untuk meningkatkan kapasitas wartawan dalam menyampaikan informasi kebencanaan secara tepat, empatik, dan solutif kepada publik. Dilansir dari jatimpos.co, Rabu, (30/7/2025).
“Agar saat peliputan dan pemberitaan, teman-teman media bisa memberikan penjelasan yang mencerahkan dengan bahasa yang baik dan ilmu yang bisa dimanfaatkan masyarakat,” ujar Kepala Pelaksana BPBD Jatim, Gatot Soebroto.
Ia menegaskan bahwa sinergi antara pemerintah dan media harus semakin erat.
“Ke depan, kolaborasi dalam penanganan bencana harus solid agar informasi yang disampaikan bisa menjadi acuan masyarakat,” tambahnya.
Pelatihan ini menghadirkan Prof. Eko Teguh Paripurno, pakar kebencanaan sekaligus pengajar dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Ia menjelaskan bahwa jurnalis memiliki peran vital dalam tiga fase komunikasi bencana: sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi.
“Komunikasi pra-bencana membangun ketangguhan. Jurnalis harus paham potensi risiko, kerentanan, serta mampu mendorong penyelesaian berbasis komunitas,” jelas Prof. Eko.
Salah satu sesi menarik datang dari Komunitas Banyu Bening yang memperkenalkan inovasi penampungan dan pemurnian air hujan untuk kebutuhan darurat. Inovasi ini dinilai sangat penting untuk memperkuat kemandirian masyarakat saat akses air bersih terbatas akibat bencana.
Sementara itu, jurnalis senior Bahana Patria Gupta menyoroti pentingnya etika dan empati dalam peliputan bencana.
“Yang sering terjadi, jurnalis tidak bisa menempatkan diri saat bertemu korban. Padahal simpati sangat menentukan bagaimana kita diterima. Sikap tidak tepat di awal peliputan bisa berdampak pada jurnalis lain,” pesannya.
Ketua Pokja Wartawan Grahadi, Fatimatuz Zahroh, menyebut kegiatan ini sudah berjalan tiga tahun dan terus berkembang.
“Materinya makin relevan dan aplikatif. Saya optimistis jurnalis Jatim makin siap menghadapi tantangan peliputan bencana ke depan,” ungkap Ketua Pokja Wartawan Grahadi itu.
Dengan pelatihan ini, para jurnalis tidak hanya dibekali pengetahuan teknis, tetapi juga nilai kemanusiaan dan keberdayaan. Di tengah meningkatnya potensi bencana di Jawa Timur, wartawan tangguh adalah bagian penting dari upaya mitigasi dan edukasi publik. (ivan)