Tidak hanya itu, Subarsono juga menyatakan bahwa peletakan program sekolah rakyat di bawah Kementerian Sosial dinilai kurang tepat karena tidak sesuai dengan tupoksinya. Selain itu, dikarenakan sekolah rakyat pernah dilakukan di masa penjajahan, dosen ini menyebut terdapat kekhawatiran tentang adanya stigma yang kurang baik di mata masyarakat tentang penamaannya.
“Sebaiknya untuk penamaannya Sekolah Unggulan saja, jangan Sekolah Rakyat, sehingga tidak menciptakan dualisme dengan adanya terminologi baru yang muncul,” ungkapnya melalui ugm.ac.id.
Sekolah rakyat bisa saja tetap dilaksanakan. Subarsono menyebut jika program ini dapat dilaksanakan di daerah-daerah yang tepat, seperti 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Di daerah-daerah tersebut, terdapat banyak permasalahan mendasar pendidikan, seperti akses yang sulit, kurangnya kualitas guru, hingga keterbatasan fasilitas belajar-mengajar. Ketimpangan ini tentu harus diberantas agar kualitas pendidikan di Indonesia semakin merata.
“Saya berharap bahwa program ini tetap di bawah naungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, bukan di bawah Kemensos. Yang kedua, dibangun di daerah yang tepat seperti 3T. Jadi, kriteria yang dibangun harus jelas seperti apa karena orientasinya untuk orang miskin, gratis, dan berasrama. Saya pikir pantasnya berada di daerah yang belum maju,” harapnya. (int)