Sekolah Rakyat Tepatkah Diterapkan di Zaman Sekarang?

pendidikan | 15 Januari 2025 11:34

Sekolah Rakyat Tepatkah Diterapkan di Zaman Sekarang?
ilustrasi SR (dok inside)

SURABAYA, PustakaJC.co - Presiden Prabowo berencana mendirikan sekolah rakyat yang diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Sejauh ini, pemerintah masih berupaya mematangkan ide pendirian sekolah rakyat agar terlaksana dengan baik.

Sekolah rakyat nantinya akan berbentuk selayaknya boarding school atau asrama. Menteri Sosial (Mensos), Saefullah Yusuf—akrab disapa Gus Ipul—menyebut jika sekolah ini mirip dengan pondok pesantren.

Rencananya, sekolah rakyat dibuka bagi anak-anak mulai dari tingkat SD hingga SMP. Sementara itu, kurikulum yang digunakan juga akan menyesuaikan dengan sekolah-sekolah pada umumnya.

Menurut Gus Ipul, lingkungan asrama dapat memberikan nilai tambah pendidikan dan bisa menguatkan karakter anak sedari dini. Anak-anak dapat dibangun menjadi pribadi yang berkarakter baik, memiliki empati, kerja sama, dan kebiasaan tolong menolong yang melekat.

Fasilitas yang diberikan pun juga berkualitas. Selain gratis bagi anak-anak yang kurang mampu, sekolah ini juga menjamin asupan gizi bagi para siswa.

Tujuan utama dari pembangunan sekolah rakyat adalah untuk memutus rantai kemiskinan. Mereka yang masuk ke dalam kategori miskin ekstrem akan diupayakan untuk tetap bisa bersekolah dengan gratis dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Namun, tahukah jika di zaman penjajahan dahulu, Jepang pernah membuat Sekolah Rakyat (SR)? Sebelumnya, di masa penjajahan Belanda, sekolah ini disebut dengan Volkschool. SR ini yang menjadi cikal bakal sekolah dasar (SD) di Indonesia.

Apakah sekolah rakyat masih tepat untuk diberlakukan?

Sekolah rakyat rencananya akan dimulai lewat pembuatan pilot project di Jakarta dan sekitarnya. Nantinya, akan lebih banyak jenis sekolah serupa yang akan dibangun di provinsi-provinsi lainnya.

Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Dr. Subarsono, mengatakan jika program ini masih belum terlalu mendesak. Hal ini dikarenakan masih banyak sekolah konvensional yang masih membutuhkan perhatian lebih pemerintah.

Menurutnya, masih banyak bangunan sekolah yang rusak dan memprihatinkan. Selain itu, gaji guru juga masih menjadi permasalahan, utamanya guru honorer.

Tidak hanya itu, Subarsono juga menyatakan bahwa peletakan program sekolah rakyat di bawah Kementerian Sosial dinilai kurang tepat karena tidak sesuai dengan tupoksinya. Selain itu, dikarenakan sekolah rakyat pernah dilakukan di masa penjajahan, dosen ini menyebut terdapat kekhawatiran tentang adanya stigma yang kurang baik di mata masyarakat tentang penamaannya.

“Sebaiknya untuk penamaannya Sekolah Unggulan saja, jangan Sekolah Rakyat, sehingga tidak menciptakan dualisme dengan adanya terminologi baru yang muncul,” ungkapnya melalui ugm.ac.id.

Sekolah rakyat bisa saja tetap dilaksanakan. Subarsono menyebut jika program ini dapat dilaksanakan di daerah-daerah yang tepat, seperti 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Di daerah-daerah tersebut, terdapat banyak permasalahan mendasar pendidikan, seperti akses yang sulit, kurangnya kualitas guru, hingga keterbatasan fasilitas belajar-mengajar. Ketimpangan ini tentu harus diberantas agar kualitas pendidikan di Indonesia semakin merata.

“Saya berharap bahwa program ini tetap di bawah naungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, bukan di bawah Kemensos. Yang kedua, dibangun di daerah yang tepat seperti 3T. Jadi, kriteria yang dibangun harus jelas seperti apa karena orientasinya untuk orang miskin, gratis, dan berasrama. Saya pikir pantasnya berada di daerah yang belum maju,” harapnya. (int)