Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota Gede sekarang, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta. Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi Kumpeni Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Berikut PustakaJC sajikan biodata raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Oleh: Intan Permata Ayu
Sri Sultan Hamengkubuwono IV adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah sejak 1814 hingga 1822. Masa pemerintahannya terbilang sangat singkat, dua tahun, karena Sultan Hamengkubuwono IV wafat pada 6 Desember 1823 setelah berkunjung dari pesanggrahannya. Selama memimpin, Hamengkubuwono IV telah membuat berbagai kebijakan, tetapi dikendalikan oleh Ibu Ratu, Patih Danurejo IV, dan Belanda. Hal itu disebabkan oleh usia Hamengkubuwono IV yang masih sangat muda. Ia naik takhta di usia yang baru 10 tahun.
Awal Kehidupan Hamengkubuwono IV yang bernama asli Gusti Raden Mas Ibnu Jarot lahir pada 3 April 1804. Ia ditunjuk sebagai putera mahkota saat penobatan ayahnya sebagai sultan pada 21 Juni 1812. Tidak lama kemudian, Gusti Raden Mas Ibnu Jarot naik takhta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono IV pada 9 November 1814, ketika baru berusia 10 tahun. Karena masih sangat muda, maka pemerintahannya didampingi oleh wali raja, yaitu Pangeran Notokusumo yang bergelar Paku Alam I.
Ia menjabat sebagai wali hingga Sultan berusia 16 tahun, pada 1820. Namun, menjelang penyerahan kekuasaan Inggris ke Belanda tahun 1816, ibunda Sultan dan Patih Danurejo IV yang kemudian menjalankan wewenang sebagai wali sultan.
Konflik Sri Sultan Hamengkubuwono IV sangat dekat dengan kakaknya, Pangeran Diponegoro. Kedekatan mereka dapat terlihat saat Hamengkubuwono IV hendak khitan, 22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro lah yang menutup mata adiknya dengan kedua tangannya. Sayangnya, kedekatan Pangeran Diponegoro dengan Keraton mulai meregang saat Patih Danurejo IV semakin menancapkan pengaruhnya di kasultanan.
Patih Danurejo IV mendukung sistem sewa tanah untuk swasta yang mengakibatkan kesengsaraan bagi penduduk kasultanan. Selain itu, Patih Danurejo IV juga menempatkan saudara-saudaranya di posisi-posisi strategis. Puncak ketegangan antara Pangeran Diponegoro dan Patih Danurejo IV terjadi saat Garegeb Sawal pada 12 Juli 1820. Di hadapan sultan yang sudah memerintah secara mandiri, Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo IV yang telah menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.
Kematian Dua tahun kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwono IV meninggal dunia, tepatnya tanggal 6 Desember 1823. Saat itu, ia masih berusia 19 tahun. Dalam beberapa catatan disebutkan ia meninggal setelah kembali dari kunjungan pesanggrahannya. Oleh sebab itu, Sultan dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar. Jasad Hamengkubuwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri. Peninggalan Di masa pemerintahannya yang sangat singkat, dua tahun, membuat semua kebijakannya lebih banyak dikendalikan oleh Ratu Ibu, Patih Danurejo IV, dan Belanda. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV tidak ada karya sastra besar maupun seni yang dihasilkan. Kendati demikian, ada dua kereta yang saat ini ada di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, yaitu Kyai Manik Retno dan Kyai Jolodoro. Dua kereta tersebut difungiskan untuk kebutuhan pesiar yang sering dilakukan Sultan.