Tradisi membaca puisi di pesantren sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu, kitab-kitab klasik sering disampaikan dalam bentuk nadham (puisi). Gus Mus melanjutkan tradisi ini dengan corak bahasa yang modern dan mudah dipahami generasi sekarang.
Bagi para santri zaman now, membaca Gus Mus bukan hanya soal estetika bahasa, tapi juga menemukan ruang hening di tengah bisingnya dunia digital. Karena itu, meski zaman berubah, napas puisinya tetap hidup dan relevan. (ivan)