“Lalu lima bulan kemudian membawa sebagian dari mereka ke Surabaya untuk menjadi penunggu tamu di kedai kopi yang dia bangun di sana,” jelasnya.
Walau begitu, dia mencatat hingga tahun 1899 di Surabaya tidak ada rumah bordil Jepang yang resmi. Hanya ada 3 orang Jepang yang membuka rumah bordil berkedok kedai kopi dan salon dengan memperkerjakan 3-4 orang perempuan Jepang.
“Jadi sampai tahun 1899 operasi karayuki-san di Surabaya tidaklah semasif yang dituturkan dalam karya-karya sastra sebelumnya, yang seakan-akan menggambarkan Kembang Jepun sebagai Red-light District di Surabaya,” tegas Osa
Osa menyatakan pada peta Surabaya tahun 1866 yang dibuat oleh T.W.A Roessner secara jelas menulis nama Kembang Djepoen. Padahal Zaman Meiji baru dimulai dua tahun kemudian, apalagi para pelacur Jepang diperkirakan baru datang pada 1885.
Selain itu Alfred Russel Wallace dalam bukunya The Malay Archipelago menulis nama kapal yang ditumpanginya selama 20 hari dari Singapura adalah Kembang Djepoon. Kapal itu diawaki oleh kru Jawa dan dinakhodai orang Inggris.