SURABAYA, PustakaJC.co – Kedung Tarukan, sebuah kawasan di Surabaya, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan transformasi sosial dan politik Indonesia. Nama "Kedung" dalam bahasa Jawa berarti genangan air yang dalam, menunjukkan bahwa daerah ini dulunya merupakan kawasan rendah yang tergenang air atau rawa. Seiring waktu, Kedung Tarukan berkembang menjadi area permukiman yang padat.
Pada masa lalu, Kedung Tarukan dikenal sebagai tempat berkumpulnya para preman yang gemar berjudi dan mengonsumsi minuman keras. KH Miftachul Akhyar, pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah yang berlokasi di Jalan Kedung Tarukan No. 100 Surabaya, dalam sebuah ceramahnya pernah menyampaikan bahwa wilayah ini dahulu merupakan sarang preman dengan berbagai aktivitas negatif. Kondisi ini menciptakan stigma negatif terhadap kawasan tersebut di mata masyarakat luas.
Perubahan signifikan terjadi dengan berdirinya Pondok Pesantren Miftachussunnah pada 10 November 1982 oleh KH Miftachul Akhyar. Pesantren ini menjadi pusat pendidikan agama yang memberikan nilai-nilai moral kepada masyarakat sekitar. Selain itu, kedekatan Kedung Tarukan dengan berbagai kampus ternama di Surabaya, seperti Universitas Airlangga (Unair), menjadikan kawasan ini sebagai tempat tinggal favorit bagi mahasiswa. Kehadiran mereka membawa nuansa intelektual dan semangat perubahan ke dalam komunitas lokal.
Pada era Reformasi 1998, Kedung Tarukan menjadi saksi bisu aktivitas mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi. Mahasiswa dari berbagai universitas di Surabaya, termasuk Unair, terlibat dalam demonstrasi menuntut reformasi di berbagai sektor, seperti penghapusan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), peningkatan demokrasi, dan perbaikan ekonomi. Meskipun pusat aksi mahasiswa terfokus di Jakarta, gerakan di daerah seperti Kedung Tarukan memberikan kontribusi signifikan melalui diskusi dan aksi kolektif yang memanifestasikan semangat demokrasi.

Selain sebagai pusat pergerakan politik, Kedung Tarukan juga berkembang menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya. Warga RT 11, RW 6, Kedung Tarukan Baru, misalnya, menginisiasi pojok literasi dengan nuansa Jawa untuk memperkenalkan budaya kepada anak-anak. Mulai dari gapura, nomor rumah warga, hingga hiasan air mancur, semuanya dikreasikan dengan sentuhan budaya lokal. Inisiatif ini bertujuan menghidupkan kembali tradisi lokal di tengah arus modernisasi.
Budi Karyono, salah satu warga di wilayah Kedung Tarukan 2 Surabaya, yang akrab disapa Pakde Budi, menekankan pentingnya nilai-nilai lokal dalam kehidupan sehari-hari.
"Kedung Tarukan bukan hanya tentang sejarah politik, tapi juga tentang kekuatan budaya yang membangun identitas kita. Di sini, setiap sudutnya mengisahkan perjuangan, dan budaya lokal adalah fondasi yang menguatkan komunitas kita." Ujar pakde Budi
Transformasi Kedung Tarukan dari kawasan rawa dan sarang preman menjadi pusat aktivisme dan budaya menunjukkan bahwa perubahan positif selalu mungkin terjadi. Seperti yang diungkapkan Pakde Budi,
"Mengenang masa lalu bukan untuk hidup di dalamnya, tapi untuk mengambil pelajaran agar kita bisa terus maju dengan nilai-nilai kebaikan dan keadilan." Kedung Tarukan menjadi contoh nyata bagaimana sejarah, politik, dan budaya dapat berpadu dalam membentuk komunitas yang lebih baik. (ivan)