Pacinan pernah menjadi simbol harmoni dan keberagaman. Saat Imlek, anak-anak Muslim desa ikut bersuka cita menerima angpau dan menikmati kue bakpau. Sebaliknya, saat Lebaran, warga keturunan Tionghoa turut bersilaturahim ke rumah-rumah tetangga Muslim mereka. Perbedaan tidak menjadi pemisah, justru menjadi perekat kebersamaan.
Namun, seiring waktu, generasi muda mulai merantau ke kota besar. Banyak keluarga Tionghoa yang memilih menetap di sana, meninggalkan rumah-rumah mereka yang kini terbengkalai.
“Anak-anak mereka sekolah ke luar kota, terus kerja dan tinggal di sana. Kami yang tua-tua akhirnya juga ikut pindah,” ujar Pak Kwee, mantan penghuni Pacinan yang kini tinggal di Surabaya.