Reza, yang duduk bersandar di tembok kantin yang masih lembap sisa hujan, menimpali dengan tegas:
إِذَا كُنَّا نُقَدِّمُ فَقَطْ بِدُونِ فَهْمِ رُوحِ هٰذِهِ ٱلْعَادَةِ، فَمَا ٱلْفَرْقُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مُجَرَّدِ تَوْزِيعِ ٱلطَّعَامِ دُونَ نِيَّةٍ؟
"Jika kita hanya berbagi tanpa memahami makna sejati dari kebiasaan ini, apa bedanya kita dengan sekadar membagikan makanan tanpa niat?"
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan." (QS. Al-Insan: 8)
Di kantin pojok Pesantren Mambaus Sholihin, di antara sisa titik-titik hujan yang masih menempel di dedaunan, segelas teh hangat yang dibagikan sore itu menjadi lebih dari sekadar minuman. Ia adalah simbol kepedulian, ikatan persaudaraan, dan harapan akan berkah Ramadan. Rasulullah telah mencontohkan bahwa memberi makan orang yang berpuasa adalah salah satu bentuk amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.