Oleh: Ivan Febriyanto
GRESIK, PustakaJC.co - Hujan baru saja reda di Pesantren Mambaus Sholihin. Udara masih terasa sejuk, dan aroma tanah basah menyatu dengan harumnya teh hangat dari kantin pojok. Salah satu kantin pesantren yang di setiap Ramadan selalu menggelar kegiatan berbagi takjil.
Terlihat empat santri senior Nawaf, Reza, Jecky, dan Fuddin tengah sibuk membagikan takjil. Ahmad, santri Al-Sighor yang masih baru, dan Farhan, santri As-Syafi'i kelas 9 MTs, menerima hidangan berbuka dengan wajah penuh syukur.
Berbagi takjil bukan hanya soal membagikan makanan, tetapi juga tentang menanamkan nilai kepedulian dan kebersamaan. Nawaf, yang turut membagikan takjil, mengatakan:
نَحْنُ لَا نُعْطِي ٱلطَّعَامَ فَقَطْ، وَلٰكِنَّنَا نُرِيدُ أَنْ نُحْيِيَ سُنَّةَ ٱلنَّبِيِّ ﷺ ٱلَّذِي حَثَّ عَلَىٰ إِطْعَامِ ٱلصَّائِمِ.
"Kami tidak hanya membagikan makanan, tetapi juga ingin menghidupkan sunnah Nabi yang menganjurkan memberi makan orang yang berpuasa."
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ ٱلصَّائِمِ شَيْئًا
"Barang siapa memberi makan (untuk berbuka) kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun." (HR. Tirmidzi No. 807)
Di pojok kantin, Ahmad yang baru pertama kali merasakan atmosfer Ramadan di pesantren, berkata dengan wajah berbinar:
أَنَا سَعِيدٌ جِدًّا لِأَنَّنِي تَلَقَّيْتُ هٰذَا ٱلْإِفْطَارَ، لٰكِنَّهُ أَكْثَرُ مِنْ ذٰلِكَ، أَشْعُرُ أَنَّنِي مَحْبُوبٌ مِنْ قِبَلِ إِخْوَانِي فِي ٱلْمَعْهَدِ.
"Saya sangat senang menerima takjil ini, tetapi lebih dari itu, saya merasa dihargai oleh saudara-saudaraku di pesantren."
Sementara itu, Farhan yang masih menggenggam segelas teh hangat berkomentar:
لَيْسَ ٱلطَّعَامُ فَقَطْ، وَلٰكِنَّ ٱلْعَطَاءَ هُوَ تَعْبِيرٌ عَنِ ٱلْحُبِّ بَيْنَ ٱلْإِخْوَةِ فِي ٱللَّهِ.
"Bukan hanya makanan, tetapi berbagi adalah wujud kasih sayang antarsesama karena Allah."
Reza, yang duduk bersandar di tembok kantin yang masih lembap sisa hujan, menimpali dengan tegas:
إِذَا كُنَّا نُقَدِّمُ فَقَطْ بِدُونِ فَهْمِ رُوحِ هٰذِهِ ٱلْعَادَةِ، فَمَا ٱلْفَرْقُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مُجَرَّدِ تَوْزِيعِ ٱلطَّعَامِ دُونَ نِيَّةٍ؟
"Jika kita hanya berbagi tanpa memahami makna sejati dari kebiasaan ini, apa bedanya kita dengan sekadar membagikan makanan tanpa niat?"
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan." (QS. Al-Insan: 8)
Di kantin pojok Pesantren Mambaus Sholihin, di antara sisa titik-titik hujan yang masih menempel di dedaunan, segelas teh hangat yang dibagikan sore itu menjadi lebih dari sekadar minuman. Ia adalah simbol kepedulian, ikatan persaudaraan, dan harapan akan berkah Ramadan. Rasulullah telah mencontohkan bahwa memberi makan orang yang berpuasa adalah salah satu bentuk amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.