Ia mengingatkan bahwa Indonesia memiliki banyak rujukan tafsir, seperti karya Buya Hamka, Prof. Quraish Shihab, dan KH Bisri Mustofa. Namun, karena tafsir Kemenag dianggap netral, masyarakat cenderung menjadikannya sebagai sumber utama.
“Fakta bahwa penafsiran yang beredar di Indonesia itu ada banyak perbedaan, tentu orang akan merujuk ke Kemenag RI,” ujar ulama asal Rembang tersebut.
Gus Baha juga menyoroti pentingnya menjaga validitas data, keotentikan, dan sudut pandang yang menyeluruh (komprehensif) dalam penafsiran. Ia menekankan bahwa ayat-ayat yang mengandung unsur hukum (fiqih) harus ditangani secara cermat agar tidak menyesatkan masyarakat.