Kabar Redaksi

April, Kartini dan Dapur Literasi

April, Kartini dan Dapur Literasi
Dok mother and son

 

Kartini dan Dapur Literasi

Lahirnya kepahlawanan Kartini tak dapat dipungkiri tercetus dari kedekatan sosok Kartini dengan budaya literasi. Kartini hidup dengan buku-buku, dan kegiatan tulis menulis lewat surat-suratnya yang dapat kita nikmati hingga kini. Kartini seolah bersepakat dengan apa yang dikatakan Pramudya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama tidak menulis ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.” Spirit literasi itulah yang menjadi dapur intelektualitas dan energi perjuangan pergerakan seorang Kartini di masanya.

 

Kartini yang hidup di zaman pra-literasi menjadi literater yang sangat membanggakan. Kemampuannya memvisualkan wajah patriarki, dan isu-isu hak serta keadilan perempuan menjadi kata dan energi yang menggerakkan banyak perempuan Indonesia kala itu. Jika hari ini Kartini masih hidup, mungkin hatinya akan tersayat ketika mimpi literasi yang ia bangun nyatanya belum terlalu banyak dilakukan oleh banyak masyarakat khususnya para perempuan Indonesia. Apalagi bagi mereka yang masih memilih sibuk shopping sana-sini ketimbang membaca, menulis dan menelurkan gagasan untuk kemajuan kaum perempuan.

 

Terakhir, membaca dan menulis ibarat kendi, apa yang kita tuangkan itulah yang akan terbagi. Memang tidak dipungkiri bahwa susah untuk membangun masyarakat perempuan yang meliterasi, apalagi ditengah fenomena perempuan millenial yang kini seolah terfokus pada topik-topik galau dan kebimbangan, atau yang anak muda lazim menyebutnya sebagai “Baper”. 

Baca Juga : Idul Fitri dan Nilai Kebersamaan
Bagikan :