“Itu mereka lakukan puluhan tahun, setidaknya sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang,” jelasnya.
Salamah salah seorang petenun menceritakan saat Jepang masuk ke Indonesia, banyak warga kesulitan sandang sehingga hanya bisa memakai baju dan celana dari karung bekas beras atau gula.
Tetapi warga Kerek saat itu masih bisa memakai kain gedhog yang lebih nyaman dan mewah. Harganya, jelas Salamah, saat itu juga cukup mahal. Satu selendang Gedhog bisa ditukar dengan 5-6 ekor ayam.
Rens Heringa dalam Nini Towok Spinning Wheel: Cloth and The Cycle of Life In Kerek, Java mengungkapkan bahwa batik gedhog identik dengan masyarakat Kerek. Bahkan menjadi status sosial bergantung pada pola batiknya.