YOGYAKARTA, PustakaJC.co- Stunting masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Target penurunan angka stunting pada tahun 2024 adalah sebesar 14 persen.
Data yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan, prevalensi stunting nasional Indonesia turun sekitar 0,8 persen menjadi 21,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Stunting terjadi akibat kurangnya asupan gizi pada anak, khususnya pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kondisi gagal tumbuh ini dapat terjadi selama periode kehamilan hingga anak berusia dua tahun.
Kekurangan gizi selama periode ini tidak hanya memengaruhi pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan otak anak yang akan berdampak pada kecerdasan dan produktivitas masa depan. Stunting juga dapat menjadi permanen apabila tidak diatasi dengan baik sebelum anak berusia lima tahun.
Stunting memiliki dampak yang serius bagi kesehatan jangka panjang dan pendek. Pada kesehatan jangka pendek, stunting dapat menyebabkan turunnya kekebalan tubuh. Sementara itu, untuk jangka panjangnya, kondisi ini bisa memicu risiko penyakit kronis, seperti hipertensi dan diabetes.
Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yuly Astuti, menyebut jika stunting memiliki sifat genetik. Dalam hal ini, seorang ibu yang mengalami stunting berisiko melahirkan anak yang juga mengalami stunting.
Faktor penyebab stunting
Stunting disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya perilaku pemberian ASI dan vaksinasi. Selain itu, kondisi sosial, seperti pendidikan, usia menikah, dan pendapatan rumah tangga juga menyumbangkan peran dalam lahirnya anak dengan kondisi stunting.
Hal lain yang menyebabkan tingginya angka stunting adalah tradisi dan sosial budaya di beberapa tempat. Salah satu contoh nyata yang masih sering ditemui di Indonesia adalah tingginya angka perkawinan anak.
Ibu yang menikah di bawah usia 20 tahun disebut sangat berisiko untuk melahirkan anak stunting dibandingkan ibu yang menikah di usia dewasa. Ibu yang masih muda atau dalam masa pertumbuhan harus berbagi nutrisi dengan janinnya, sehingga kebutuhan gizinya tidak benar-benar terpenuhi dengan baik.
Upaya Mencegah Stunting sejak Kehamilan, Seperti Apa?
Kawan, praktik pemberian makanan yang tidak tepat turut menjadi faktor menghambat pertumbuhan anak. Dalam penelitian yang dilakukan Yuly di Kabupaten Karanganyar pada 2021-2023, faktor sosial ekonomi memiliki pengaruh yang besar terhadap prevalensi stunting.
Tidak hanya itu, pendidikan ibu ternyata juga berperan penting dalam menentukan kualitas pengasuhan. Ibu dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki pemahaman yang baik tentang gizi dan kesehatan anak.
Dalam beberapa kasus, pemberian makanan prelaktal, seperti madu, kopi, atau air beras, serta membuang kolostrum (cairan ASI pertama pasca ibu melahirkan) yang dianggap sebagai “susu basi” turut menjadi penyebab terjadinya stunting.
Di daerah perdesaan, masih banyak anak-anak yang tidak memperoleh haknya untuk mendapatkan imunisasi lengkap. Banyak orang tua yang masih belum benar-benar paham terkait urgensi imunisasi, di mana hal ini memperburuk kompleksitas masalah stunting.
Faktor penting untuk mencegah stunting
Di antara ekonomi dan pendidikan, Yuly menjelaskan jika pendidikan menjadi fondasi utama untuk pencegahan stunting. Menurutnya, ibu yang berpendidikan lebih memiliki pengetahuan yang baik tentang pengasuhan anak, gizi, dan kesehatan.
“Ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan lebih baik tentang pengasuhan anak, gizi, dan kesehatan. Mereka juga lebih mampu mengatasi pengaruh budaya yang kurang mendukung kesehatan anak,” sebutnya dalam rilis BRIN, beberapa waktu lalu.
Akan tetapi, pencegahan stunting juga tetap dapat dilakukan meskipun tingkat pendidikan ibu rendah. Hal ini dapat dilakukan melalui edukasi berbasis komunitas, seperti pelatihan di posyandu dan penyebaran informasi melalui media sosial. (int)