SURABAYA, PustakaJC.co - Belakangan ini kita banyak disuguhi berita mengenai tantangan dalam industri kesehatan nasional, mulai dari biaya yang tinggi untuk menjadi dokter spesialis, masalah perundungan antara dokter senior dan junior dalam pendidikan spesialis, dugaan adanya kepentingan bisnis di rumah sakit, hingga ketidakpuasan keluarga pasien terhadap tindakan medis yang diberikan dokter, serta ketimpangan distribusi dokter spesialis.
Hal-hal ini seolah memperlihatkan bahwa industri kesehatan di Indonesia berada dalam kondisi buruk, tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Meski begitu, berita-berita tersebut tetap penting karena dapat menjadi bahan introspeksi bagi seluruh pemangku kepentingan di bidang kesehatan.
Namun, kenyataannya tidak seburuk yang digambarkan. Banyak Fakultas Kedokteran di Indonesia yang memiliki reputasi baik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kita memiliki banyak dokter yang ahli di bidangnya yang tersebar di berbagai kota besar. Saya sendiri memiliki kesan positif—meski mungkin subjektif—saat dirawat di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga Surabaya atas penyakit saya yang cukup mengancam nyawa.
Saya mengapresiasi keahlian dan profesionalisme dokter serta perawat yang menangani saya. Seorang sahabat saya, seorang akuntan alumni FE Unair, pernah dirawat di rumah sakit ternama di Malaysia dan mendapati bahwa beberapa dokter yang menanganinya merupakan lulusan Universitas Airlangga Surabaya.
Sebaiknya, Indonesia mulai fokus pada upaya yang positif untuk mengembangkan potensi di sektor kesehatan, misalnya dengan menjadikan Indonesia sebagai tujuan wisata medis dunia seperti yang dilakukan oleh Malaysia dan Singapura, sementara Thailand dan India dikenal sebagai tujuan pengobatan herbal dunia. Pemerintah bisa memobilisasi potensi yang ada di industri kesehatan dan farmasi nasional untuk mewujudkan hal ini.
Contohnya, negara tetangga Malaysia berhasil mengembangkan potensi wisata kesehatan dan menjadikan dirinya sebagai destinasi wisata medis global. Berdasarkan laporan Travel and Tour World (TTW) tanggal 28 Oktober 2024, industri pariwisata medis Malaysia telah bangkit kembali setelah pandemi COVID-19 dan menjadi salah satu tujuan perawatan kesehatan utama dunia. Terkenal karena layanan medis yang terjangkau dan berkualitas, Malaysia berhasil menarik pasien dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Tiongkok, Bangladesh, Myanmar, dan Australia.
Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC) mengklaim bahwa negara ini berhasil memposisikan diri sebagai penyedia layanan kesehatan berkualitas untuk perawatan khusus, seperti kardiologi, ortopedi, bedah kosmetik, dan perawatan kanker.
Data tahun 2019 menunjukkan bahwa Malaysia menghasilkan lebih dari RM1,7 miliar (sekitar $406 juta) dari sektor wisata medis, dengan pasar utama berasal dari Indonesia dan Tiongkok. Kota-kota seperti Penang dan Melaka menjadi pusat wisata medis, menarik wisatawan medis terutama dari Indonesia yang menyumbang lebih dari 70% pasien asing di wilayah ini. Penang, khususnya, sedang bertransformasi menjadi kota global dalam bidang wisata medis, menarik investasi besar untuk memperkuat infrastruktur kesehatan dan menyediakan layanan canggih, seperti bedah robotik.
Laporan TTW menyebut beberapa faktor yang menjadikan Malaysia menarik sebagai destinasi wisata medis, yaitu: keterjangkauan biaya perawatan, fasilitas kesehatan yang canggih, beragam layanan medis, serta dukungan layanan multibahasa yang memudahkan pasien internasional.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi wisata alam yang indah, seperti gunung, danau, persawahan, atau perkebunan, yang dapat dikombinasikan dengan potensi kesehatan untuk menciptakan destinasi wisata medis dengan keunikan tersendiri. Contohnya, pada masa kolonial Belanda, rumah sakit paru-paru di Batu, Jawa Timur, didirikan pada tahun 1912 dengan memanfaatkan keindahan alam setempat sebagai bagian dari pendekatan pengobatan. (int)