SURABAYA, PustakaJC.co - Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Tujuannya untuk memperkuat kekuatan perpajakan daerah dan meningkatkan efisiensi, produktivitas, serta akuntabilitas belanja daerah.
Salah satu kebijakan perpajakan daerah yang diatur dalam UU HKPD ini adalah kebijakan opsen.
Kebijakan opsen bertujuan untuk memperluas kerja sama dalam pemungutan pajak dan mempercepat penyaluran pajak yang sebelumnya dibagi hasilkan.
Dengan demikian, diharapkan akan ada peningkatan penerimaan pajak dalam jangka panjang. Opsen merupakan pungutan tambahan pajak dengan persentase tertentu.
Ada tiga jenis pajak daerah yang dikenakan opsen, yakni Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Opsen PKB dan BBNKB dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan opsen Pajak MBLB dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Penambahan Opsen PKB dan BBNKB untuk kabupaten/kota dapat dianggap sebagai pengganti skema bagi hasil antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. PKB dan BBNKB merupakan jenis pajak provinsi.
Nantinya, pajak yang diterima oleh provinsi tersebut sebagiannya diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan. Pada UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatur mengenai persentase bagi hasil penerimaan PKB dan BBNKB kepada kabupaten/kota sebesar 30%.
Adapun penambahan opsen pajak MBLB untuk provinsi diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di daerah.
Secara umum, opsen tidak menambah beban administrasi perpajakan bagi wajib pajak. Karena diterapkannya opsen diikuti dengan penurunan tarif pajak daerah, sehingga jumlah pajak yang dibayar oleh wajib pajak sebelum dan sesudah diterapkannya opsen tetap sama.
Contohnya PKB yang pada UU PDRD dikenakan tarif paling tinggi sebesar 2%, pada UU HKPD tarifnya diturunkan menjadi sebesar 1,2% dan ditambah dengan pengenaan opsen PKB sebesar 66% yang dihitung dari besaran pajak terutang.
Jika dihitung dengan seksama, pengenaan PKB dan opsen PKB pada UU PDRD akan menghasilkan tarif pajak efektif sebesar 2%, yang mana tarif pajak efektif tersebut sama dengan tarif pajak pada UU PDRD.
Meskipun kebijakan opsen memberikan berbagai peluang bagi daerah untuk memperkuat otonomi fiskalnya, penerapannya juga tidak lepas dari sejumlah risiko yang perlu diperhatikan. Beberapa peluang bagi daerah antara lain adalah meningkatkan pendapatan daerah, meningkatkan rasa memiliki, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Namun, di sisi lain, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi seperti resistensi terhadap perubahan, kompleksitas sistem administrasi, dan koordinasi antartingkat pemerintahan.
Meningkatkan pendapatan daerah merupakan salah satu peluang utama yang ditawarkan oleh kebijakan pajak opsen. Sebelum penerapan pajak opsen, sebagian besar pendapatan pajak daerah kabupaten/kota diperoleh melalui mekanisme bagi hasil yang dibagi dengan pemerintah provinsi.
Dengan adanya opsen, kabupaten/kota mendapatkan porsi pendapatan yang lebih besar dari PKB dan BBNKB. Pada mekanisme bagi hasil, kabupaten/kota mendapatkan bagi hasil sebesar 30% yang diberikan oleh provinsi.
Sedangkan dengan opsen, kabupaten/kota bisa mendapatkan pendapatan 10% lebih besar dari yang sebelumnya diterima, sehingga total proporsi pendapatan yang diterima oleh kabupaten/kota dari PKB dan BBNKB menjadi 40%.
Hal ini juga sejalan dengan opsen pajak MBLB yang didapatkan oleh provinsi. Sebelumnya provinsi tidak mendapatkan bagian dari pajak MBLB karena merupakan jenis pajak yang dikelola oleh kabupaten/kota.
Dengan adanya opsen, provinsi mendapatkan bagian sebesar 20% dari pengenaan pajak tersebut.
Peluang yang kedua adalah meningkatkan rasa memiliki. Dengan mendapatkan bagian langsung dari pajak melalui mekanisme opsen, pemerintah kabupaten/kota memiliki insentif yang lebih kuat untuk mengoptimalkan pemungutan pajak.
Insentif ini mendorong pemerintah daerah untuk melakukan intensifikasi, seperti meningkatkan efisiensi dalam pengumpulan pajak dan meminimalkan kebocoran penerimaan.
Selain itu, pemerintah juga terdorong untuk melakukan ekstensifikasi, yakni memperluas basis pajak dengan menjangkau wajib pajak yang sebelumnya tidak terdata atau tidak aktif. Kombinasi dari kedua upaya ini tidak hanya meningkatkan penerimaan pajak, tetapi juga menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan merata.
Ketika hasil dari optimalisasi ini dapat langsung dirasakan oleh daerah dalam bentuk pendapatan tambahan, pemerintah daerah lebih termotivasi untuk terus memperbaiki pengelolaan pajak dan pelayanan kepada masyarakat.
Penerapan pajak opsen memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mempercepat penerimaan pajak, yang pada gilirannya memungkinkan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Dengan adanya tambahan pendapatan, pemerintah daerah dapat berinvestasi dalam infrastruktur dan teknologi yang mempermudah wajib pajak, seperti menyediakan fasilitas pembayaran pajak secara daring, kios layanan mandiri, atau aplikasi berbasis mobile.
Selain itu, percepatan penerimaan pajak juga memungkinkan pengalokasian sumber daya yang lebih besar untuk meningkatkan efisiensi pelayanan administrasi, seperti mempercepat proses penerbitan dokumen pajak dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang melayani masyarakat.
Semua ini menciptakan pengalaman yang lebih baik bagi wajib pajak, membangun kepercayaan terhadap pemerintah daerah, dan pada akhirnya mendorong kepatuhan pajak secara sukarela.
Resistensi terhadap perubahan menjadi tantangan utama dalam penerapan pajak opsen, baik di kalangan aparat pemerintah daerah maupun masyarakat. Pemerintah daerah mungkin kesulitan mengadaptasi infrastruktur dan mekanisme pemungutan baru, sementara masyarakat khawatir akan potensi kenaikan beban pajak atau rumitnya sistem.
Kurangnya pemahaman teknis dan manfaat opsen sering memperburuk situasi. Untuk mengatasinya, diperlukan sosialisasi menyeluruh dan edukasi yang menjelaskan bahwa opsen tidak menambah beban pajak, sehingga resistensi berkurang dan partisipasi meningkat.
Penerapan pajak opsen membutuhkan penyesuaian sistem administrasi pajak daerah untuk mendukung mekanisme split payment secara efektif. Sistem ini harus mampu memisahkan dan mengalokasikan penerimaan pajak antara provinsi dan kabupaten/kota secara otomatis, mengelola data wajib pajak, serta melaporkan keuangan dengan transparan.
Tanpa teknologi informasi yang memadai, risiko kesalahan pencatatan, keterlambatan distribusi, atau kebocoran penerimaan meningkat.
Selain itu, pengembangan kapasitas aparat pajak diperlukan agar sistem berjalan lancar dan kepercayaan masyarakat terhadap pajak daerah tetap terjaga.
Koordinasi antarpemerintah provinsi dan kabupaten/kota menjadi tantangan utama dalam penerapan pajak opsen. Ketidaksepahaman soal tugas, data, atau alokasi penerimaan dapat menghambat efektivitasnya, ditambah perbedaan prioritas yang memicu konflik.
Solusinya adalah komunikasi transparan, kebijakan selaras, dan sistem koordinasi yang jelas, seperti perjanjian kerja sama atau forum rutin. Dengan koordinasi baik, pengelolaan pajak opsen dapat optimal dan bermanfaat bagi masyarakat. (int)