TANGERANG SELATAN, PustakaJC.co - Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto menuai penolakan keras dari berbagai kalangan, termasuk Ketua PBNU Savic Ali dan sejarawan Bonnie Triyana. Mereka menilai Soeharto tidak layak dipahlawankan karena warisan kekerasan, pelanggaran HAM, dan represi politik di era Orde Baru.
Dalam diskusi publik IslamiTalk yang digelar Islami.co di Outlier Cafe, Ciputat, Jumat, (7/11/2025), hadir pula Budayawan NU Hairus Salim dan aktivis Gen Z NU Lily Faidatin. Keempat tokoh itu sepakat bahwa menjadikan Soeharto pahlawan sama saja mengkhianati sejarah dan korban kekerasan negara. Dilansir dari nu.or.id, Minggu, (9/11/2025).
“Soeharto menjadi presiden karena krisis politik. Legitimasi kekuasaannya dibangun lewat pemaksaan sejarah,” tegas sejarawan Bonnie Triyana.
Hairus Salim menambahkan, Orde Baru melumpuhkan partai-partai ideologis termasuk NU.
“ABRI dipakai untuk mengarahkan pilihan. Pemilu saat itu cuma formalitas,” katanya.
Sementara Lily Faidatin menyebut, Soeharto punya dosa besar terhadap rakyat dan NU.
“Beliau mungkin pernah berjasa, tapi dosanya lebih banyak. Ayah saya sendiri pernah ditangkap karena mengkritik Soeharto,” ujarnya.
Ketua PBNU Savic Ali juga menolak keras. Ia menilai Soeharto justru membatasi pergerakan NU melalui mekanisme politik yang dikendalikan ABRI, birokrasi, dan Golkar.
“Kalau Soeharto dipahlawankan, gak ketemu nalar kita. Pahlawan itu yang berkorban untuk rakyat, bukan untuk kepentingan sendiri dan kroninya,” tegas Savic.
Diskusi itu menyimpulkan, upaya mempahlawankan Soeharto akan menegasikan luka sejarah, merendahkan nilai-nilai demokrasi, dan mengkhianati jutaan korban represi politik di masa Orde Baru. (ivan)