SURABAYA, PustakaJC.co - Di tengah maraknya tren pernikahan modern, ada satu tradisi unik yang masih bertahan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Tradisi ini dikenal dengan nama ganjuran, di mana peran gender dalam proses lamaran terbalik. Bukan pria yang melamar wanita, namun justru wanita yang melamar pria.
Konon, asal-usul tradisi ganjuran bermula dari kisah seorang bupati Lamongan yang memiliki dua putri cantik jelita. Karena jatuh cinta pada seorang pemuda desa, kedua putri tersebut memberanikan diri untuk melamar secara langsung. Sejak saat itu, tradisi ini terus lestari dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Lamongan.
Proses ganjuran sendiri memiliki tahapan yang cukup rumit. Dimulai dari prosesi, seperti njaluk, ganjur, milih dino, dan pernikahan. Di mana orang tua pihak wanita meminta kepada si pria untuk menjadi menantunya. Setelah meminta (njaluk), mereka melakukan ganjuran (lamaran) ke pihak pria, lalu pihak pria membalas ganjuran itu selang beberapa hari. Kalau semua sudah saling setuju, baru kedua pihak menentukan hari pernikahannya, setelah itu mereka menikah.
Tradisi ganjuran bukan sekadar ritual belaka, namun mengandung makna yang mendalam. Bagi masyarakat Lamongan, tradisi ini mencerminkan keberanian dan ketegasan perempuan dalam mengejar cinta. Selain itu, tradisi ini juga menunjukkan penghargaan terhadap sosok pria sebagai pemimpin keluarga.
Meskipun demikian, tradisi ganjuran juga menghadapi tantangan seiring berjalannya waktu. Pengaruh modernisasi dan perubahan gaya hidup membuat banyak generasi muda memilih untuk mengikuti tren pernikahan yang lebih umum. Namun, upaya pelestarian terus dilakukan agar tradisi ini tidak hilang ditelan zaman.
Tradisi ganjuran adalah bukti nyata bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam. Melalui tradisi ini, kita dapat belajar tentang nilai-nilai luhur seperti keberanian, ketegasan, dan saling menghargai. Sebagai generasi muda, kita memiliki tanggung jawab untuk melestarikan tradisi ini agar tetap hidup dan berkembang. Namun, bagaimana tradisi ini dijalankan di era modern?
Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas, tim PustakaJC.co mewawancarai pasangan yang baru saja menyelesaikan proses ganjuran, Farikh dan Novi.
Farikh, calon mempelai pria, menjelaskan bahwa dalam tradisi ganjuran, perempuan memiliki peran aktif dalam melamar.
"Terkadang tidak selalu laki-laki yang melamar duluan, akan tetapi perempuan juga bisa melamar sebab tradisi." Katanya diawal wawancara, Minggu, (19/1/2025). Hal ini menunjukkan bahwa tradisi ini memberikan ruang bagi perempuan untuk menunjukkan keberanian dan inisiatif dalam hubungan.
Di sisi lain, Novi menambahkan pandangannya keberanian perempuan dalam melamar. Ia merasa bahwa tindakan ini sangat positif dan mencerminkan kepercayaan diri. "Terkait perempuan melamar duluan menurutku keren, jadi kelihatan berani dan percaya diri mengejar yang aku mau."
Namun, meskipun ia menganggap melamar terlebih dahulu itu keren, Novi juga menekankan bahwa esensi dari lamaran terletak pada keseriusan dan niat dari kedua belah pihak. Ia berpendapat bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki peran yang penting dalam proses ini.
"Tapi perempuan atau laki-laki yang melamar kayaknya juga sama aja, yang penting niat dan keseriusan kita berdua." Ini menunjukkan bahwa di balik tradisi, ada nilai-nilai yang lebih dalam tentang komitmen dan keseriusan dalam hubungan.
Farikh juga menekankan pentingnya pelestarian tradisi ganjuran sebagai momen sakral. Ia percaya bahwa ada makna mendalam dalam setiap prosesi.
"Ya perlu, sebab ada suatu momen dan kesakralan dalam istiadat itu." Ini menunjukkan bahwa tradisi ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan nilai-nilai masyarakat Lamongan.
Baginya, Ganjuran bukan hanya tentang dirinya dan calon pasangan, tetapi juga tentang mempererat hubungan kedua keluarga.
Keduanya sepakat tentang pentingnya adaptasi tradisi dengan perkembangan zaman. "Menurutku Ganjuran harus dilestarikan, tapi harus pintar-pintar menyesuaikan dengan zaman sekarang."
Ini menunjukkan kesadaran bahwa meskipun tradisi sangat penting, tetap perlu ada ruang untuk perubahan agar tetap relevan bagi generasi muda dan selaras dengan perkembangan zaman. (nov)