SURABAYA, PustakaJC.co - Pelaku usaha perhotelan dan restoran di Jawa Timur menghadapi tekanan berat di tahun 2025. Iklim usaha dinilai semakin memburuk, dengan penurunan tingkat hunian kamar (TPK) hotel dan berkurangnya jumlah pengunjung restoran sejak awal tahun.
Firman S Permana, Ketua Harian PHRI Jawa Timur untuk wilayah Surabaya, menyebutkan bahwa kondisi ini diperparah oleh kebijakan pemerintah yang memangkas anggaran perjalanan dinas hingga 50 persen serta menghapuskan anggaran Meeting, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE). PHRI Jawa Timur telah mengirimkan surat kepada Gubernur Jawa Timur dan Dinas Pariwisata, baik provinsi maupun kota Surabaya, untuk mengajak berdiskusi mencari solusi, namun hingga tiga bulan berlalu belum mendapat respons.
Firman menekankan bahwa PHRI tidak meminta bantuan dana atau sponsor, melainkan hanya ingin berdialog untuk mencari jalan keluar atas kondisi sulit ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur yang dirilis Rabu (9/4/2025), tingkat hunian hotel berbintang pada Januari dan Februari 2025 masing-masing tercatat sebesar 47,83 persen dan 47,80 persen, mengalami penurunan tipis 0,03 poin dibanding bulan sebelumnya, dan lebih rendah 2,73 persen dibanding Februari 2024. Hotel non-bintang mencatat kinerja lebih buruk, dengan TPK Februari hanya 21,28 persen, turun dari 21,96 persen di Januari.
Firman mengungkapkan kekhawatirannya, bahwa tingkat hunian yang terus berada di bawah 50 persen akan membuat banyak hotel kesulitan bertahan, karena pendapatan yang dihasilkan tidak cukup untuk menutup biaya operasional dan modal usaha.
Tekanan ini sudah berdampak nyata: sejumlah hotel terpaksa mengurangi jumlah tenaga kerja harian lepas dan menghentikan penerimaan siswa magang dari SMK perhotelan. Situasi kian berat dengan adanya kewajiban pembayaran upah sektoral di industri perhotelan.
BPS Jatim menjelaskan bahwa penurunan TPK dipengaruhi oleh berakhirnya musim liburan Natal dan Tahun Baru, serta kebijakan efisiensi belanja negara melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang penghematan APBN/APBD, yang berdampak langsung pada sektor akomodasi yang banyak bergantung pada kegiatan MICE instansi pemerintah.
Terdapat perbedaan signifikan antarwilayah: Kabupaten Gresik mencatat TPK tertinggi (56,94%), diikuti Kota Surabaya (50,61%) dan Kota Malang (47,60%), sedangkan Magetan (12,78%), Probolinggo (13,07%), dan Ngawi (13,09%) menjadi daerah dengan tingkat hunian terendah.
Sementara itu, rata-rata lama menginap tamu asing naik sedikit menjadi 2,30 hari, namun secara umum lama menginap tamu domestik dan asing masih berkisar antara 1 hingga 1,5 hari, menunjukkan rendahnya aktivitas wisata di Jawa Timur.
Firman, didampingi Kahar Salamun selaku Penasehat PHRI Jatim, berharap pemerintah daerah segera merespons ajakan dialog agar dapat dirumuskan solusi bersama sebelum dampak yang lebih besar terjadi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). "Pemerintah tidak bisa hanya mengejar pajak tanpa mau mendengar keluhan dunia usaha," tegas Firman. (nov)