JAKARTA, PustakaJC.co - Tanggal 2 Mei menjadi momen penting untuk mengenang tokoh pelopor pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, yang lahir pada 2 Mei 1889. Ia memperjuangkan akses pendidikan yang merata melalui Taman Siswa dan memperkenalkan filosofi pendidikan yang masih dikenal hingga kini: Ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Falsafah ini menekankan bahwa seorang pendidik harus menjadi teladan, pembangun semangat, dan pemberi dorongan dari belakang. Namun di tengah realita pendidikan saat ini, nilai-nilai tersebut seringkali tidak mendapat ruang. Pendidikan kerap terjebak dalam birokrasi, penilaian administratif, dan abai pada pembentukan karakter. Dilansir dari kemenag.go.id, Jumat, (2/5/2025).
Tantangan lain yang mencuat adalah soal integritas. Berdasarkan data Transparency International 2024, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya berada di angka 34 dari 100, menempatkan Indonesia di posisi ke-115 dari 180 negara dunia. Di kawasan ASEAN, Indonesia masuk dalam enam besar negara dengan tingkat korupsi tertinggi.
Bahkan sektor pendidikan pun tak luput. Berdasarkan survei Integritas Pendidikan KPK, ditemukan bahwa 28% sekolah masih melakukan pungutan liar saat penerimaan siswa baru. Ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya terjadi di level elite, tetapi juga meresap hingga ke lembaga yang seharusnya menjadi pilar pembentuk moral bangsa.
Menariknya, dalam momentum Hari Bumi yang berlangsung belum lama ini di kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok, Menteri Agama Nasaruddin Umar menggagas sebuah pendekatan pendidikan berbasis spiritualitas dan kasih sayang, yang ia sebut sebagai Kurikulum Cinta.
Dalam sambutannya, Nasaruddin memaparkan bahwa dalam al-Qur’an, sifat-sifat Tuhan yang berakar pada kasih sayang dan kelembutan seperti ar-Rahmân dan ar-Rahîm jauh lebih dominan dibandingkan sifat-sifat ketegasan seperti al-Jabbâr atau al-Qahhâr. Ia menekankan bahwa pandangan feminin ini penting untuk mengembalikan relasi manusia dengan alam dan sesama agar lebih manusiawi.
Pandangan ini membawa kita pada satu renungan: pendidikan bukan sekadar proses mengajar, tetapi menanamkan nilai. Jika hanya mengejar prestasi akademik dan kelulusan formal, maka pendidikan kehilangan ruhnya. Yang dibutuhkan kini bukan sekadar kurikulum kompetensi, tetapi juga kurikulum yang menumbuhkan cinta, empati, dan tanggung jawab sosial.
Memperingati Hari Pendidikan Nasional harusnya tidak sekadar mengenang tokoh, tetapi juga merefleksikan arah pendidikan hari ini. Apakah kita masih setia pada nilai-nilai luhur yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara, atau justru melupakannya dalam praktik sehari-hari? Sudah waktunya pendidikan kembali ke akar: membentuk manusia utuh, bukan sekadar lulusan ijazah. (ivan)