Desa Napis memiliki enam lembaga pendidikan dasar, tetapi jarak antar dusun yang terpencar dan kondisi geografis ekstrem membuat sebagian warga tetap terisolasi.
Di ruangan kecil berlantai tanah itu, anak-anak tetap menulis, membaca, dan menjawab pertanyaan guru dengan penuh antusias. Bagi mereka, dinding rapuh bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi.
“Yang penting anak-anak tetap bisa belajar. Kami hanya ingin mereka punya kesempatan yang sama seperti anak-anak lainnya,” tegas Imam.
Di tengah segala keterbatasannya, MI Silahul Muslimin menjadi simbol keteguhan warga Koripan dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi anak-anaknya—meski jauh dari gemerlap fasilitas kota. (ivan)