Wali Songo (4)

Tujuh Falsafah Hidup Sunan Drajat

tokoh | 29 September 2024 06:26

Tujuh Falsafah Hidup Sunan Drajat
Dok wikipedia

SURABAYA, PustakaJC.co - Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam berjiwa sosial tinggi. Mulai memperhatikan fakir miskin, hingga lebih mengutamakan kesejahteraan sosial masyarakat.

 

Ajarannya lebih menekankan pada etos kerja keras dan empati berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong royong. Tidak hanya itu, Sunan Drajat juga mengajarkan tata cara membangun rumah, membuat peralatan berupa tandu dan joli.

 

Biografi Sunan Drajat:

1. Asal-usul dan Nasab Sunan Drajat

Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi, dengan nama Raden Qasim. Beliau merupakan putra bungsu Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila.

 

Sunan Drajat diketahui memiliki garis keturunan Sunan Bonang, yaitu berdarah Champa-Samarkand-Jawa. Sebab, sang ayah adalah putra Ibrahim Asmarakandi.

 

Menurut Babad Tjirebon, Babad Risakipun Majapahit, dan Hikayat Hasanuddin, kakek Sunan Drajat berasal dari Negeri Tyulen, Kazakshtan. Dengan begitu, nasab Raden Qasim adalah dari Tyulen di Kazakshtan dan Samarkand di Uzbekistan Asia Tengah, yang berimigrasi ke Champa.

 

Babad Tanah Djawi mengungkapkan bahwa Sunan Ampel sebelum menikah dengan Nyai Ageng Manila, terlebih dahulu menikahi Nyai Karimah.

 

Dari pernikahan dengan Nyai Karimah, lahirlah Dewi Murtosiyah yang dinikahi Sunan Giri. Sementara adiknya yakni Dewi Murtosimah dinikahi Raden Patah. Oleh karena itu, Raden Qasim mempunyai dua saudara lain ibu.

 

Diketahui, ada sembilan anak dari Sunan Ampel. Mereka yakni Nyai Ageng Manyuran, Nyai Ageng Manila, Nyai Ageng Wilis, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Ki Mamat, Syaik Amat, Nyai Ageng Medarum, dan Nyai Ageng Supriyah.

 

2. Pendidikan dan Pengembangan Keilmuan Sunan Drajat

Raden Qasim dididik dalam lingkungan keluarga ibunya yang berasal dari Jawa. sehingga beliau menguasai ilmu, bahasa, seni, budaya, sastra dan agama bercorak Jawa. Sunan Drajat juga menggubah sejumlah tembang macapat langgam Pangkur.

 

Sunan Drajat menuntut ilmu agama dari Sunan Ampel sendiri, sebelum akhirnya beliau dikirim oleh sang ayah kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon. Menurut Babad Tjirebon, Raden Qasim disebut dengan nama Masaikh Munat atau Pangeran Kadrajat.

 

Setelah berguru dengan Sunan Gunung Jati, beliau menikahi putrinya bernama Dewi Sufiyah dan menetap di Kadrajat. Sehingga beliau disebut sebagai Pangeran Kadrajat atau Pangeran Drajat.

 

Dari pernikahan itu, keduanya dikaruniai tiga orang anak. Mereka yaitu Pangeran Rekyana atau Pangeran Tranggana, Pangeran Sandi, dan Dewi Wuryan.

 

Setelah itu, Sunan Drajat menikah dengan Nyai Kemuning putri dari Kiai Mayang Madu. Lalu menikah lagi dengan Nyai Retna Ayu Candra Sekar putri dari adipati Kediri Arya Wiranatapada.

 

3. Perjalanan Dakwah Sunan Drajat

Berbekal pengetahuan dari Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat kembali ke Ampeldenta. Namun, atas perintah dari sang ayah, Sunan Drajat menyebarkan dakwah keislamannya di pesisir barat Gresik.

 

Dalam perjalanannya, perahu yang ditumpangi pecah dan beliau ditolong oleh ikan cucut dan ikan talang, sampai mendarat di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Jelag, Desa Banjarwati. Kedatangannya disambut baik oleh sesepuh kampung yaitu Kyai Mayang Madu dan Mbah Banjar.

 

Di Jelag, Sunan Drajat menikah dengan putri dari Kiai Mayang Madu bernama Nyai Kemuning. Di sana beliau mendirikan sebuah surau sebagai tempat mengajarkan penduduk setempat bacaan Al-Qur'an.

 

Dikisahkan juga, Sunan Drajat pernah ditempatkan sebagai imam pelindung di Lawang dan Sedayu. Setelah itu, Sunan Drajat melakukan riadhah rohani dengan uzlah di Ujung Pangkah, dengan cara tidak makan dan tidak tidur selama tiga bulan.

 

4. Pepali Pitu, Tujuh Falsafah Kehidupan Sunan Drajat

Dakwahnya dikenal dengan sebutan pepali pitu atau tujuh dasar ajaran. Dalam menyampaikan ajaran tersebut, Sunan Drajat terkadang memanfaatkan media kesenian, seperti menggubah tembang tengahan macapat pangkur.

 

Tujuh falsafah yang dijadikan sebagai pedoman dalam menjalan kehidupan itu sebagai berikut:

 

Memangun resep tyasing sasama (Kita selalu membuat senang hati orang lain).

Jroning suka kudu eling lan waspodo (Dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan selalu waspada).

Laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah (Dalam upaya mencapai cita-cita luhur jangan menghiraukan halangan dan rintangan).

Meper hardaning pancadriya (Senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu-nafsu indrawi).

Heneng - hening - henung (Dalam diam akan dicapai keheningan dan di dalam hening, akan mencapai jalan kebebasan mulia).

Mulya guna panca waktu (Pencapaian kemuliaan lahir batin dicapai dengan menjalani sholat lima waktu).

Menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong kang luwe. Menehono busana marang wong kang wuda. Menehono pangiyup marang wong kang kaudanan (Berikan tongkat kepada orang buta. Berikan makan kepada orang yang lapar. Berikan pakaian kepada orang yang tak memiliki pakaian. Berikan tempat berteduh kepada orang yang kehujanan). (int)