Marsoedi Mohamad Paham

Pencipta Kode Pos yang Terinspirasi Lagu Dari Sabang Sampai Merauke

tokoh | 28 April 2025 11:42

Pencipta Kode Pos yang Terinspirasi Lagu Dari Sabang Sampai Merauke
Marsoedi Mohamad Paham (dok pos indonesia)

SURABAYA, PustakaJC.co - Mungkin banyak yang tak tahu sosok pencipta kode pos di Indonesia. Dia adalah Marsoedi Mohamad Paham. Berikut kisah sang tokoh.

Jika Anda kerap berkirim kartu pos, surat atau paket, pasti familier dengan lima digit terakhir yang dicantumkan di tiap alamat tujuan, itu adalah kode pos. Kode pos lazim digunakan dalam proses pengiriman surat atau barang.

Kode pos dibuat dengan deretan angka, huruf atau karakter yang mengartikan wilayah tertentu. Tujuannya adalah untuk memudahkan pekerjaan di kantor pos saat menyortir surat atau pengiriman paket.

Indonesia baru menggunakan sistem kode pos sejak1985, lama setelah negara-negara Barat menerapkannya sejak 1930-an. Marsoedi Mohamad Paham adalah sosok di balik terciptanya kode pos di Indonesia.

Pria yang menjabat sebagai Direktur Utama Perum Pos dan Giro pada 1987 hingga 1995 ini dikenal sebagai orang yang telaten, serta gemar menyusun huruf dan angka. Bahkan, lima anaknya dia namai sesuai urutan abjad.

Di waktu senggangnya, dia masih melakukan kegemarannya mengoleksi prangko dan uang dari berbagai negara yang dia lakukan sejak 1961. Kala ditemui di rumahnya di Bandung, Jawa Barat, pria berusia 86 tahun ini tampak masih segar di usia senjanya.

Meski ingatan dan pendengarannya tak sekuat dulu, pria dengan perawakan kurus ini masih ingat bagaimana lima digit kode pos itu tercipta. “Dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu. Itulah Indonesia,” tutur Marsoedi mengutip syair lagu Dari Sabang Sampai Merauke, ketika ditanya awal mula pembuatan kode pos di Indonesia 40 tahun lalu.

Sebelum dikenal luas dengan judul dan lirik "Dari Sabang Sampai Merauke", lagu ini memuat lirik “Dari Barat sampai ke Timur" sebelum akhirnya diganti atas permintaan Soekarno, presiden Indonesia saat itu.

Lagu Dari Sabang Sampai Merauke menginspirasi Marsoedi dalam menyusun digit demi digit sebagai penanda setiap wilayah, hingga akhirnya tercipta lima digit kode pos Indonesia.

“Ceritanya orang harus menyortir surat itu [tujuannya] ke mana. Nah untuk itu dibikin pencatatan nomor-nomor supaya tahu. Jadi pada waktu itu, saya bikin kode pos itu lima digit,” tutur Marsoedi, pada Selasa (29/10).

Digit pertama sebagai kode untuk wilayah kerja pos yang mencakup beberapa provinsi. Digit kedua dan ketiga menunjukkan wilayah kabupaten atau kota. Sementara digit keempat untuk kode kecamatan, dan digit kelima kode kelurahan.

Untuk menandai kode wilayah di digit pertama, Marsoedi menyusunnya dengan mengacu pada lagu Dari Sabang Sampai Merauke atau dari Barat ke Timur. “Angka 1 itu [untuk] ibu kota negara, Jakarta. Baru kemudian kita bikin angka 2 sampai 9. Jadi dihitung dari barat, angka 2 itu mulai dari Banda Aceh terus sampai 3 itu bagian selatan dari Sumatra,” jelas Marsoedi.

Selain sebagai kode ibukota Jakarta, angka 1 juga menjadi penanda wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Selanjutnya, kode 2 untuk wilayah Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Kode 3 menunjukkan wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, dan Lampung.

Kode 4 untuk wilayah Jawa Barat dan Banten. Kode 5 untuk wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kode 6 untuk Jawa Timur. Kode 7 untuk wilayah Kalimantan.

Sementara kode 8 untuk Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Adapun kode 9 untuk wilayah Sulawesi dan Papua.

Layanan pos modern di Indonesia dimulai pada 1602 kala VOC masih berkuasa di Indonesia—kala itu masih bernama Hindia Belanda. Saat itu, surat-surat atau paket pos hanya diletakkan di Stadsherbrg (Gedung Penginapan Kota), sehingga orang-orang harus selalu mengecek apakah ada surat atau paket untuk mereka.

Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff kemudian mendirikan kantor pos pertama di Indonesia, tepatnya di Batavia pada Agustus 1746, demi meningkatkan keamanan surat dan paket yang dikirim via pos. Sesudahnya, cabang-cabang kantor pos dibangun di sejumlah wilayah Hindia Belanda. Pada 1880-an, lembaga Post, Telegraaf, en Telefoondienst (PTT)—yang menyatukan layanan pos, telegraf dan telepon—dibuat pemerintah Hindia Belanda.

Namun, pada era kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengambil alih dan mengubahnya menjadi Djawatan Pos, Telegraf dan Telepon. Pada 1960-an, pemerintah memisahkan bisnis telekomunikasi sehingga nama perusahaan ini berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pos dan Giro.

Kala itu, Marsoedi memilih tetap bekerja bidang pos dan giro, menjabat sebagai Kepala Bangunan dan Kendaraan Pos seluruh Indonesia. Dia mendesain seluruh gedung pos di Indonesia dan mengusulkan ide pos keliling ke daerah pelosok yang tidak terjangkau kantor pos dengan mendesain mobil Volkswagen Combi. Sulitnya penyortiran surat yang dihadapi petugas pos menjadi alasan di balik penyusunan kode pos yang dilakukan Marsoedi.

“Berdasarkan kenyataan bahwa untuk sortir surat itu, kalau tanpa angka itu lebih sulit, karena itu dibantu dengan penomoran-penomoran. Nah penomoran itu namanya kode pos,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, Marsoedi mengusulkan penerapan sistem kode pos di Indonesia ke direksi Perum Pos dan Giro serta presiden Indonesia saat itu, Suharto, pada 1980. Kala itu, dia menjabat sebagai Kepala Pusat Perencanaan Pos Perum Pos dan Giro.

Usulan itu akhirnya disetujui dan Marsoedi mulai merancangnya pada Mei 1981, dengan mempelajari sistem kode pos yang telah diterapkan di dunia, seperti di Belanda, Italia, Jepang, dan Prancis.

Pada 1981 hingga 1982, Marsoedi belajar tentang pos selama setahun di Lyon, Prancis. Setahun kemudian, pada 7 September 1982, kode pos rancangan Marsoedi mulai diterapkan di internal Perum Pos dan Giro.

Tepat setahun sesudahnya, penerapannya diperluas untuk wilayah DKI Jakarta. Baru pada 1 Agustus 1985, sistem kode pos yang diciptakan Marsoedi mulai digunakan di seluruh Indonesia.

Marsoedi menciptakan sistem kode pos di Indonesia adalah untuk mempermudah kerja petugas pos. “Kalau tanpa nomor, orang tidak akan tahu untuk ke mana surat itu akan dikirim. Saya tetapkan dengan lima angka, maka petugas akan bisa menyortir surat itu tujuannya ke mana,” ujar Marsoedi.

Lantas, mengapa kode pos di Indonesia terdiri dari lima angka? Marsoedi menjawab: “Karena Indonesia itu luas sekali. Kalau kurang dari lima, sortir suratnya akan lebih sulit. Karena itu, dengan menyortir angka, orang akan lebih mudah menyortir suratnya. Petugas diberi tahu caranya menyortir surat itu. Dia harus hafal dulu angka-angka itu ditujukan ke mana.” (int)