Sebagai pegiat hukum, ia pernah menjabat Wakil Ketua LBH PWI Jaya dan aktif mengkritisi potensi pelanggaran UU Pers, termasuk dalam kolom gosip atau "sas-sus". Dalam tulisannya di Pers Indonesia edisi April 1982.
Dharto menulis, “Tulisan seperti ‘di rumah artis A boleh melakukan ciuman, setiap orang yang datang dilayani’ dapat kena sanksi hukum, walau hanya dimuat di kolom sas-sus.”
wartawan harian Duta Masjarakat itu juga dikenal sebagai suami dari penyanyi kasidah legendaris, Rofiqoh Dharto Wahab. Pernikahan mereka pada 1965 bahkan dimuat di halaman depan Duta Masjarakat.
Rofiqoh dikenal sebagai “Umi Kultsum-nya Indonesia” dengan suara emas yang merekam syair-syair religi dalam pita kaset, menjadikannya ikon musik Islami pada masanya.
Dharto Wahab wafat pada 1997 setelah mengalami stroke. Ia meninggalkan warisan pemikiran, keteladanan, dan karya-karya jurnalistik yang kini menjadi referensi penting sejarah pers NU dan dunia advokasi. (Ivan)