SURABAYA, PustakaJC.co - KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dikenal bukan hanya sebagai kiai, tetapi juga budayawan, pelukis, kolumnis, dan penyair. Selama puluhan tahun, ia konsisten menulis puisi religius-sufistik yang memadukan jenaka, kesederhanaan, dan kedalaman makna.
Salah satu puisinya yang banyak dikutip santri adalah Mulut (2002). Melalui metafora tentang rongga mulut, Gus Mus mengingatkan bahwa ucapan bisa membawa kebaikan atau kerusakan. “Puisi ini menyentuh hati tanpa menuding, membangkitkan kesadaran tanpa menggurui,” tulis Abdul Wachid B.S., penyair sekaligus Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, dalam opininya di NU Online.
Buku-buku puisinya pun terbilang produktif, di antaranya Ohoi (1991, 1994), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikus (1996), Negeri Daging (2002), Rubaiyat Angin dan Rumput (2008), hingga Aku Manusia (2016). Dalam puisi Aku Manusia, Gus Mus menyandingkan martabat manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya—langit, laut, burung, bahkan setan—untuk menunjukkan kemuliaan sekaligus tanggung jawab manusia. Dilansir dari nu.or.id, Minggu, (10/8/2025).