SURABAYA, PustakaJC.co - Sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur akhirnya diakui secara resmi oleh negara sebagai Pahlawan Nasional. Pengumuman itu disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025.
Bagi banyak orang, kabar ini seperti menutup satu bab panjang sejarah — bab tentang seorang tokoh yang dulu sempat dianggap terlalu berani, terlalu beda, dan terlalu jujur. Kini, negara justru memberi penghormatan tertinggi kepada Bapak Pluralisme Indonesia itu.
“Gus Dur mengajarkan bahwa kemanusiaan melampaui batas agama, suku, dan politik,” ujar Presiden Prabowo dalam pidato singkatnya di Istana Negara, Jakarta.
Bagi warga Jawa Timur, khususnya Nahdliyyin, penetapan ini bukan sekadar seremoni. Gus Dur bukan hanya tokoh nasional — ia adalah simbol keberanian untuk berpikir merdeka dan mencintai sesama tanpa sekat. Dari pesantren kecil di Jombang, pemikiran Gus Dur menembus batas dunia.
Bahkan setelah wafat pada 2009, gagasannya tentang toleransi, demokrasi, dan kebebasan beragama terus hidup di hati banyak orang. Gus Dur pernah berkata, “Tidak penting apa agamamu, yang penting kamu berbuat baik.” Kalimat itu kini terasa seperti warisan abadi bangsa ini.
Penetapan Gus Dur sebagai Pahlawan Nasional 2025 juga memunculkan reaksi luas di media sosial. Banyak netizen menyebut momen ini sebagai “pembenaran sejarah” atas perjuangan Gus Dur yang dulu kerap disalahpahami. Tagar #GusDurPahlawanNasional bahkan sempat trending di X (Twitter).
Sosok yang dikenal jenaka namun tajam itu memang tak pernah berhenti menginspirasi. Di mata banyak kalangan, Gus Dur bukan hanya ulama, tapi juga pejuang kemanusiaan sejati — yang membela minoritas, melawan diskriminasi, dan menjaga wajah lembut Islam Indonesia.
Kini, setelah lebih dari satu dekade, penghargaan tertinggi itu akhirnya datang. Bukan sekadar gelar, tapi pengakuan bahwa nilai-nilai Gus Dur masih relevan, bahkan semakin dibutuhkan di tengah dunia yang penuh perpecahan.
Dari pesantren Tebuireng, Jombang, hingga Istana Negara, nama Gus Dur kini berdiri sejajar dengan para tokoh besar bangsa. Sebuah perjalanan panjang yang mengingatkan kita, bahwa kebenaran kadang datang terlambat — tapi tak pernah hilang arah.
Gus Dur telah berpulang, tapi canda, keberanian, dan kebijaksanaannya tetap hidup di hati rakyat. Ia pernah berkata, “Tuhan tidak perlu dibela.” Dan mungkin, inilah cara Tuhan membela Gus Dur hari ini — lewat pengakuan negara yang datang di waktu yang paling tepat. (int)