Sejarah Islam penuh dengan kisah ulama besar yang tumbuh melalui jalan pengabdian. Para santri generasi terdahulu tak hanya belajar dari kitab, tetapi juga dari pengalaman melayani guru-guru mereka dengan penuh hormat. Imam Syafi’i, misalnya, dikenal begitu berbakti kepada gurunya. Begitu pula para ulama lainnya yang menganggap khidmah sebagai bagian dari perjalanan ilmu.
Di Mambaus Sholihin, nilai-nilai ini terus diwariskan. Santri dididik agar tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga siap terjun ke masyarakat dengan mental yang kuat dan hati yang bersih. Karena sejatinya, seorang yang berilmu bukan hanya mereka yang banyak membaca, tetapi yang mampu mengamalkan ilmunya dengan penuh ketulusan.
Santri bukan hanya belajar kitab, tetapi juga membangun karakter. Di pesantren, pengabdian bukan beban, tetapi jalan menuju keberkahan. Dengan mengabdi, seorang santri belajar arti keikhlasan, kesabaran, dan rasa syukur. Mereka dididik untuk tidak hanya mengejar dunia, tetapi juga mencari rida Allah dalam setiap langkah.
Karena kelak, mereka akan kembali ke masyarakat, bukan hanya sebagai cendekiawan, tetapi juga pelayan umat yang ikhlas dan penuh kasih. Seperti rumput yang terus tumbuh meski berulang kali dipotong, begitulah santri diajarkan untuk tetap rendah hati, tetap berbuat baik, dan terus mengabdi sepanjang hayat.