Pengabdian Santri, Menjaga dan Merawat dengan Cinta

bumi pesantren | 18 Maret 2025 06:07

Pengabdian Santri, Menjaga dan Merawat dengan Cinta
Dok foto istimewa

Oleh: Ivan Febriyanto

 

GRESIK, PustakaJC.co - Langit sore mulai meredup di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin. Hembusan angin membawa aroma tanah basah usai hujan yang turun membasahi bumi. Di depan gedung asrama Rushaifah, seorang santri terlihat tekun melakukan kegiatannya diiringi suara mesin pemotong rumput yang ia gunakan.

 

Dialah Umam, santri asal Batam, yang di sela-sela kesibukannya belajar, memilih untuk mengabdi dengan merawat pesantren. Baginya, ini bukan sekadar tugas, melainkan bagian dari perjalanan spiritual. Sebab, di pesantren, pengabdian (khidmah) bukan hanya sekadar bekerja, tetapi juga bentuk latihan hati, mendidik kesabaran, ketulusan, dan kedisiplinan.

 

"Pesantren ini rumah kami. Membersihkannya bukan beban, tapi kebanggaan. Kalau bukan kami, siapa lagi?" katanya sambil memotong rumput yang panjangnya telah mencapai lutut.

 

Di Mambaus Sholihi,  pengabdian bukanlah kewajiban yang diberlakukan secara paksa, melainkan kesadaran yang tumbuh dalam jiwa santri. Setiap santri diajarkan bahwa khidmah adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah. Melalui pengabdian, seorang santri dilatih untuk tidak hanya sibuk dengan diri sendiri, tetapi juga peduli terhadap lingkungan dan orang lain.

 

Rasulullah ﷺ bersabda:

سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ

"Pemimpin suatu kaum adalah yang melayani mereka." (HR. Abu Nu’aim)

 

Hadits ini menegaskan bahwa pengabdian bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kedewasaan dan kematangan spiritual. Seorang pemimpin sejati bukanlah mereka yang hanya duduk memberi perintah, tetapi yang terjun langsung, ikut bekerja, dan melayani dengan ketulusan.

 

Lebih dari itu, Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an:

وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

"Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Baqarah: 195)

 

Santri yang terbiasa mengabdi akan membawa nilai ini ke mana pun mereka pergi. Ketika kelak mereka kembali ke masyarakat, mereka akan menjadi pribadi yang ringan tangan, tidak gengsi untuk membantu, dan memahami bahwa kehormatan sejati terletak pada manfaat yang mereka berikan untuk orang lain.

 

Tidak semua orang bisa merasakan keindahan dalam bekerja tanpa pamrih. Namun, di pesantren, santri dididik untuk menemukan kebahagiaan dalam pengabdian. Membersihkan halaman, menjadi khodam, mengajar, mengurus kebersihan musholla, hingga membantu adik kelas. Semua itu bukan sekadar tugas, tetapi ladang pahala.

 

Keikhlasan inilah yang membedakan pengabdian santri dengan pekerjaan biasa. Bekerja dengan mengharap imbalan adalah hal lumrah, tetapi bekerja dengan niat tulus karena Allah adalah hal yang luar biasa. Itulah yang ditanamkan dalam hati setiap santri.

 

"Saat kita mengabdi, kita belajar menghilangkan ego. Kita belajar menghargai perjuangan orang lain, memahami betapa pentingnya saling membantu. Ini bukan sekadar kerja fisik, tapi juga latihan jiwa," ujar Umam sambil menyeka keringatnya.

 

Sejarah Islam penuh dengan kisah ulama besar yang tumbuh melalui jalan pengabdian. Para santri generasi terdahulu tak hanya belajar dari kitab, tetapi juga dari pengalaman melayani guru-guru mereka dengan penuh hormat. Imam Syafi’i, misalnya, dikenal begitu berbakti kepada gurunya. Begitu pula para ulama lainnya yang menganggap khidmah sebagai bagian dari perjalanan ilmu.

 

Di Mambaus Sholihin, nilai-nilai ini terus diwariskan. Santri dididik agar tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga siap terjun ke masyarakat dengan mental yang kuat dan hati yang bersih. Karena sejatinya, seorang yang berilmu bukan hanya mereka yang banyak membaca, tetapi yang mampu mengamalkan ilmunya dengan penuh ketulusan.

 

Santri bukan hanya belajar kitab, tetapi juga membangun karakter. Di pesantren, pengabdian bukan beban, tetapi jalan menuju keberkahan. Dengan mengabdi, seorang santri belajar arti keikhlasan, kesabaran, dan rasa syukur. Mereka dididik untuk tidak hanya mengejar dunia, tetapi juga mencari rida Allah dalam setiap langkah.

 

Karena kelak, mereka akan kembali ke masyarakat, bukan hanya sebagai cendekiawan, tetapi juga pelayan umat yang ikhlas dan penuh kasih. Seperti rumput yang terus tumbuh meski berulang kali dipotong, begitulah santri diajarkan untuk tetap rendah hati, tetap berbuat baik, dan terus mengabdi sepanjang hayat.