Oleh: Ivan Febriyanto
GRESIK, PustakaJC.co – Di tengah maraknya budaya berbuka puasa mewah, santri Pondok Pesantren Mambaus Sholihin justru tetap setia dengan tradisi kesederhanaan. Bukanlah perjamuan buka puasa prasmanan namun justru perjamuan makan bersama beralaskan daun pisang. Mereka duduk melingkar, menyantap nasi dan lauk seadanya beralaskan daun pisang. Apakah ini hanya soal hemat, atau ada nilai lebih yang mereka pegang?
Di dalam dapur sederhana itu, aroma masakan khas Ramadhan tercium kuat. Puluhan santri duduk melingkar, menunggu adzan magrib berkumandang. Di tengah-tengah mereka, daun pisang membentang sebagai alas makan, di atasnya nasi putih dan lauk pauk sederhana tersaji tanpa piring dan sendok.
"Kami memang diajarkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam segala hal, termasuk saat berbuka puasa," ujar Firhad, seorang santri yang dikenal jago membaca kitab kuning.
Tradisi ini dikenal dengan liwetan, metode makan bersama yang bukan sekadar ritual berbuka, tapi juga simbol kebersamaan dan kesetaraan. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Semua berbagi dalam satu hidangan.
Menurut Afi, santri yang dikenal paham dalil-dalil agama dan pakar hukum, kesederhanaan dalam berbuka puasa sudah dicontohkan Rasulullah bersabda:
إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَان
"Kesederhanaan adalah bagian dari iman." (HR. Abu Dawud)
Afif menambahkan bahwa dalam Al-Qur'an juga ada perintah untuk tidak berlebihan dalam makan dan minum:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (QS. Al-A'raf: 31)
Dalam kitab Ihya' Ulumuddin, Imam Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa kesederhanaan dalam makanan adalah kunci menjaga hati tetap bersih dan menjauhi sifat tamak:
إن من قل طعامه صفا قلبه ورق فكره وقوي فهمه
"Orang yang membatasi makanannya akan lebih mudah menerima cahaya ilmu dan hikmah." (Ihya’ Ulumuddin, Juz 3)
Selain itu, tradisi ini juga mengajarkan santri untuk lebih menghargai makanan. Tidak ada sisa yang terbuang, tidak ada kemasan plastik yang mencemari lingkungan. Semua alami dan bernilai ibadah.
Di saat banyak orang berlomba-lomba mencari restoran berbintang untuk berbuka puasa, santri Mambaus Sholihin justru memilih kesederhanaan di dapur pesantren. Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mereka memahami bahwa inti dari berbuka adalah rasa syukur dan kebersamaan.