Syawal adalah momentum untuk membuktikan transformasi spiritual yang telah ditempa selama Ramadlan. Nilai-nilai seperti kejujuran, pengendalian diri, empati, dan kepedulian sosial yang terasah selama puasa harus dijaga agar tidak sekadar menjadi sensasi musiman. Ramadlan bukan akhir dari perjuangan, tetapi justru awal dari perjalanan menjaga kualitas iman dan amal.
Sayangnya, banyak yang terjebak dalam rutinitas tahunan: semangat beribadah meningkat di bulan Ramadlan, lalu menurun drastis setelahnya. Spirit Idul Fitri sebagai penanda awal bulan Syawal hanya menjadi euforia sesaat. Tradisi silaturrahim, saling memaafkan, dan suasana kekeluargaan hanya berlangsung sementara. Setelah itu, hidup kembali seperti sebelumnya bahkan tak jarang lebih buruk.
Padahal, Idul Fitri membawa pesan kembalinya manusia kepada fitrah: bertuhan, bersosial, berbudaya, dan bermoral. Spirit ini tampak dalam anjuran bertakbir, membayar zakat fitrah, melaksanakan sholat Id berjamaah, memakai wewangian, dan menjalin silaturrahim. Semua itu adalah simbolisasi dari manusia ideal yang tercerahkan bukan hanya secara ritual, tapi juga secara sosial dan spiritual.