YOGYAKARTA, PustakaJC.co - Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriah dan dianggap sebagai salah satu bulan paling suci. Bulan Muharram kerap dijadikan momen untuk refleksi, hijrah spiritual, hingga pengingat atas peristiwa penting dalam sejarah Islam, salah satunya hari Asyura atau 10 Muharram.
Perayaan Muharram pun tidak selalu sama di dunia. Umat Muslim memiliki caranya masing-masing untuk merayakan tahun baru ini, sesuai dengan tradisi dan pengaruh mazhab Islam yang dianut.
Di Indonesia, perayaan 1 Muharram biasanya dilakukan dengan mengadakan pawai obor yang diikuti oleh anak-anak hingga orang dewasa. Riuh ramai iring-iringan pawai ini semakin meriah dengan berbagai macam atribut ikut dibawa, mulai dari bendera, poster, hingga replika masjid atau ka’bah. Tak jarang, alunan musik tradisional atau hadrah ikut mengiringi pawai tersebut.
Sebenarnya, setiap daerah di Indonesia memiliki perayaan yang berbeda-beda—tergantung pada tradisi setempat. Di daerah Sumartra misalnya. Ada tradisi bernama Tabuik/Tabot yang dilakukan oleh masyarakat Bengkulu dan Sumatra Barat.
Ada juga Kirab Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta di Solo, Jamasan Pusaka (penyucian benda-benda pusaka milik keraton) di Yogyakarta, hingga Jamasan Keris di Gresik. Tradisi-tradisi ini sudah ada sejak lama dan masih dilestarikan hingga sekarang.
Uniknya, terdapat juga pantangan-pantangan yang lumrah dilakukan oleh orang Jawa saat malam 1 Muharram atau biasa disebut malam 1 Suro, seperti larangan untuk keluar rumah, tidak menggelar acara pernikahan, sampai larangan untuk pindah rumah. Hal ini dikarenakan, malam 1 Suro bagi banyak masyarakat Jawa dianggap sebagai waktu keramat.
Berbeda dengan Indonesia, negara-negara di dunia ini juga memperingati Muharram dengan tradisi unik. Berikut adalah tradisi unik negara-negara di dunia untuk menyambut bulan Muharram:
Lebanon
Masyarakat Muslim di Lebanon memiliki tradisi untuk mendonorkan darahnya di hari Asyura atau 10 Muharram ke bank darah lokal. Kantor Komite Kesehatan Islam di Beirut, Lebanon, menyebut bahwa sangat banyak kantong darah yang masuk selama hari Asyura.
Namun, perayaan Muharram di Lebanon sebenarnya diperingati sebagai hari berkabung atas wafatnya Husein bin Ali bin Abi Thalib saat peristiwa Karbala. Dalam sebuah artikel di jurnal Khazanah yang dituliskan oleh Niswa, dkk., perayaan dilakukan pada sepertiga pertama Muharram, mulai dari takziah, shabih—dilakukan lewat representasi mati raga dengan memukul dada, mencambuk punggung dengan rantai besi, hingga melukai kepala dengan pedang.
Turki
Untuk merayakan Muharram, sekelompok Syiah di Istanbul dan beberapa provinsi yang berbatasan dengan Iran mengenakan pakaian serba hitam untuk mengenang peristiwa Karbala. Mereka juga melaksanakan sembahyang dan ritual. Adegan drama yang mengambarkan tragedi Karbala juga dipentaskan.
Iran
Mirip dengan Lebanon dan Turki, terdapat prosesi bernama Taziyeh atau Ta’ziyeh yang mengekspresikan kesedihan mereka atas meninggalnya Husein. Puncak ritualnya dilakukan di tanggal 10 Muharram dengan pertemuan besar-besaran di masjid dan pusat-pusat keagamaan.
Arab Saudi
Masyarakat Arab Saudi memiliki tradisi untuk minum susu di tanggal 1 Muharram. Mereka meminum segelas susu putih di pagi hari sebagai simbol masuknya tahun baru dan dimulainya “kemurnian” diri yang baru.
Tak hanya itu, warga Arab juga menyantap Mukhliya atau hidangan tradisional Arab dari daun rami di siang harinya. Budaya sulaturahim ke rumah kerabat sembari mengucapkan selamat tahun baru juga masih lumrah dilakukan.
Maroko
Kawan, perayaan Muharram di Maroko sebenarnya tidak begitu meriah dibanding negara Islam lainnya. Dalam moroccoworldnews.com, peringatan tahun baru Masehi justru lebih ramai.
Namun, bukan berarti perayaan Muharram benar-benar sepi. Di daerah utara negara ini, para wanita menyiapkan santapan lezat, seperti al-assida dengan mentega dan trid yang ditambah telur. Masjid, zawiya (pusat spiritual), hingga pasar akan ramai. Lantunan pujian untuk Nabi juga diperdengarkan.
Meski sama-sama menyambut bulan suci Muharram, cara umat Islam merayakannya sangat beragam. Di Indonesia, tradisinya berpadu dengan budaya lokal dan cenderung damai. Di negara lain seperti Iran, Lebanon, dan Pakistan, perayaannya lebih emosional dan simbolis karena erat dengan peringatan tragedi Karbala. (int)