JAKARTA, PustakaJC.co - Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menegaskan, para pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sejak awal berpikiran global. Mereka tidak hanya memikirkan Indonesia, tapi juga dunia, karena pengalaman belajar di pusat-pusat ilmu Islam dan bertemu intelektual internasional.
Dalam program Menjadi Indonesia edisi Agustus 2025, Pemimpin Redaksi NU Online Ivan Aulia Ahsan menanyakan apakah dialog para tokoh NU dengan berbagai ideologi membuat mereka kosmopolit. Dilansir dari nu.or.id, Jumat, (15/8/2025).
“Kosmopolitanisme memang ciri khas para muassis NU sejak awal. Mereka belajar di Hijaz dan pusat ilmu Islam lainnya, bertemu tokoh dari berbagai bangsa. Itu membangun mentalitas kosmopolit mereka sehingga tidak hanya berpikir tentang Indonesia, tapi juga dunia,” ujar Gus Yahya, dikutip Kamis, (14/8/2025).
Gus Yahya menambahkan, generasi kedua NU mulai terpengaruh gagasan Barat, seperti pada Sarekat Islam karya Haji Umar Said Tjokroaminoto dan Muhammadiyah karya Kiai Ahmad Dahlan. Namun, fokus utama para muassis tetap menjaga jati diri keulamaan.
“Dulu standar keulamaan sangat tinggi, mengacu pada tokoh seperti Kiai Nawawi Banten. Jadi, bukan perkara sepele,” tegasnya.
Lebih lanjut, generasi pascamuassis, seperti KH Mahfudz Siddiq, mengembangkan gagasan Mabadi Khaira Ummah, memperbaiki umat melalui gerakan ekonomi dan moralitas Islam.
“Hal itu muncul karena mereka memikirkan berbagai ideologi, misalnya komunisme, yang mengasumsikan bahwa dinamika masyarakat pada dasarnya masalah ekonomi,” jelas Gus Yahya.
Menurut Gus Yahya, momentum besar seperti krisis ekonomi dan Perang Dunia II semakin memperkuat wacana kebangsaan di kalangan tokoh NU.
Dari pengalaman internasional para pendiri hingga gagasan inovatif generasi berikutnya, NU membuktikan bahwa ulama Indonesia mampu berpikir lintas batas, membangun peradaban Islam inklusif dan kosmopolit sejak awal. (ivan)