SURABAYA, PustakaJC.co - Santri bukan sekadar pelajar, melainkan penjaga tradisi keilmuan dan penggerak moral masyarakat. Salah satu kekhasan pendidikan pesantren adalah qiraatil kutub—tradisi membaca, menelaah, dan mengkaji kitab klasik (turats). Tradisi ini melatih nalar kritis, kreativitas intelektual, serta membangun karakter yang kokoh di tengah arus zaman.
Di era digital, qiraatil kutub tetap relevan. Santri belajar menyaring informasi, berpikir kritis, dan menolak hoaks atau radikalisme. Kitab kuning bukan sekadar teks, tetapi medium membentuk generasi berilmu, berkarakter, dan beradab. KH. Hasyim Asy’ari menekankan, kitab klasik adalah “mata air ilmu” yang harus dijaga kesinambungannya. Dilansir dari kemenag.go.id, Kamis, (2/10/2025).
Tradisi ini juga membentuk santri sebagai penggerak sosial. Nilai-nilai keadilan, persaudaraan, dan tanggung jawab kolektif yang diperoleh dari kitab diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti kata Imam al-Ghazālī: “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu tidak akan tegak.”
Selain menjaga akar spiritual dan intelektual, pesantren kini mengintegrasikan teknologi digital: kitab kuning dalam format digital, aplikasi interaktif, dan forum daring antar-pesantren. Inovasi ini memastikan qiraatil kutub tetap hidup dan diminati generasi muda.
Melalui santri dan qiraatil kutub, peradaban Islam dibangun dari teks ke praktik sosial, menyinergikan tradisi, ilmu, dan inovasi. Memperkuat tradisi ini berarti memperkuat pondasi peradaban Islam yang berorientasi pada ilmu, akhlak, dan kemajuan umat.
Selamat ber-Musabaqah Qiraatil Kutub dan Hari Santri 2025! (ivan)