Beban Memimpin NU: “Lebih Berat dari Negara”
Ahmad Zainul Hamdi, Sekretaris BMBPSDM Kemenag, memberikan perspektif lebih tajam. Ia menyebut bahwa memimpin NU membutuhkan energi luar biasa.
“Memimpin NU lebih berat dari memimpin negara,” ujarnya separuh berkelakar, separuh serius.
Bagi Zainul Hamdi, kepemimpinan NU tidak bekerja dengan instruksi keras. Ia berjalan melalui persuasi, keteladanan, dan kewibawaan. Dibutuhkan figur yang ia ibaratkan sebagai “manusia setengah dewa” untuk merangkul dinamika warga NU yang sangat majemuk.
Relevansi NU: Selalu Ada untuk Zaman
Aktivis NU, Helmi Ali, mengingatkan bahwa sepanjang sejarahnya, NU tidak pernah absen menjawab tantangan zaman.
“Ketika pemerintah Saudi bergerak dengan paham Wahabinya, ketika penjajah mengeksploitasi sumber daya, keberadaan NU selalu menjawab kebutuhan zamannya,” ungkapnya.
Namun tantangan baru tengah mengintai: politik identitas, stagnasi pesantren, hingga perubahan sosial yang cepat.
“Pertanyaan mendesaknya adalah: bagaimana pesantren bisa benar-benar berdaya?” ujarnya.
Pesantren sebagai Tradisi Besar, Bukan Dogma Beku
Pengamat sosial-politik, Fachry Ali, menempatkan buku ini dalam lanskap tradisi intelektual pesantren. Ia menegaskan bahwa tradisi pesantren selalu menjadi ruang koreksi, bukan ruang untuk membekukan pemikiran.
“Pesantren didirikan oleh pribadi-pribadi besar dengan gagasan besar,” katanya.
Ia menghubungkan refleksi masa lalu dengan tantangan demografis masa kini—di mana era pasca-industri menuntut NU untuk membaca realitas politik dengan lebih tajam.
“NU kerap gagap membaca politik dan pemilu, meskipun banyak kadernya berada di dalam sistem. Konsolidasi harus terus dibahas agar unsur chaotic di NU dapat direproduksi menjadi energi perubahan.”
Buku yang Menjadi Kompas Masa Depan
Sesaat setelah acara peluncuran berakhir, satu hal terasa menonjol: buku Menavigasi Perubahan NU dan Pesantren tidak hanya menawarkan gagasan. Ia menjadi cermin untuk menilai apa yang sudah ditempuh, sekaligus kompas untuk membaca arah masa depan NU dan pesantren.
Ia memotret pergulatan besar antara tradisi dan modernitas, antara kultur dan struktur, antara kerumunan dan konsolidasi. Ia mengajak pembaca memahami betapa luas samudra pemikiran yang harus dinavigasi para pemimpin NU hari ini.
Dan pada akhirnya, buku ini menjadi satu tiang layar yang menguatkan langkah kapal besar bernama NU, agar terus bergerak—perlahan, pasti—menuju masa depan yang lebih terarah. (Pstk01)