Menavigasi Perubahan NU: Ketika Pemikiran Gus Yahya Dijahit Menjadi Peta Konsolidasi dan Arah Baru Pesantren

bumi pesantren | 16 November 2025 09:47

Menavigasi Perubahan NU: Ketika Pemikiran Gus Yahya Dijahit Menjadi Peta Konsolidasi dan Arah Baru Pesantren
Para penulis menyerahkan buku 'Menavigasi Perubahan NU dan Pesantren' kepada Ketum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, saat launching buku. (dok TIMES Indonesia)

SURABAYA, PustakaJC.co – Pagi yang teduh di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta itu menjadi saksi lahirnya sebuah karya yang pelan namun pasti menggetarkan ruang pemikiran Nahdliyin. Tanpa seremoni besar, buku Menavigasi Perubahan NU dan Pesantren: Syarah Pemikiran Gus Yahya resmi diluncurkan—membuka babak baru diskursus masa depan NU.

 

Di ruangan itu para pemikir, peneliti, dan pegiat NU duduk melingkar. Mereka bukan sekadar hadir untuk melihat buku diluncurkan, tetapi seperti hendak menafsir ulang perjalanan panjang organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Buku tersebut tampil bukan hanya sebagai rangkaian kalimat, tetapi sebagai peta jalan: syarah yang mencoba memberi bentuk pada arah perubahan NU di tengah derasnya arus zaman.

 

Bagi banyak orang, buku ini hadir sebagai jembatan—antara gagasan besar dan kerja lapangan yang terus berlangsung di tubuh NU.

 

Syarah yang Lahir Tanpa Ribut-Ribut

 

Rumadi Ahmad, penulis pengantar buku, berdiri dengan senyum yang merekam proses panjang penyusunan. Dengan nada ringan, ia mengaku bahwa karya ini mulanya dirumuskan tanpa sepengetahuan KH Yahya Cholil Staquf—Gus Yahya—sang pemilik gagasan.

 

“Awalnya penyusunan buku ini tanpa sepengetahuan Gus Yahya. Tapi saya meyakini beliau berkenan pemikirannya disyarahi,” tuturnya.

 

Sepuluh penulis terlibat, dengan sepuluh perspektif yang berbeda. Namun semuanya diarahkan pada satu tujuan: menafsir matan pemikiran Gus Yahya sepanjang masa khidmah 2022–2025. Sebagaimana para santri menulis syarah atas karya para ulama, buku ini mencoba menghubungkan pemahaman antara pemikir dan umat.

 

Khidmah, Konsolidasi, dan Tekad Merawat NU

 

Dalam sambutannya, Gus Yahya kembali menegaskan hakikat gerak organisasi: khidmah adalah ibadah. Kalimatnya jernih, tapi sarat ketegasan:

 

“Aktif dan mengabdi di NU adalah ibadatullah wa ‘idzharurrahmah bi Nahdlatil Ulama.”

 

Namun di balik pesan spiritual itu terselip realitas: NU besar, tetapi belum benar-benar terkonsolidasi.

 

“Elemen strukturalnya tidak nyambung; yang kultural lebih kompleks lagi. Tidak mungkin kita mengadres 30 ribu pesantren tanpa koherensi,” tegasnya.

 

Di titik ini, konsolidasi bukan sekadar membangun sistem. Ia adalah seni merawat kenyamanan, tradisi, dan persepsi publik yang terus berubah. NU bisa dianggap potensi, bisa pula dianggap ancaman—dan seorang pemimpin harus menavigasinya dengan hati-hati.

 

“Pesantren ini ke depan akan menjadi apa? Ekosistemnya harus dibangun—standar, mekanisme, pola hubungan,” tambahnya.

 

Beban Memimpin NU: “Lebih Berat dari Negara”

 

Ahmad Zainul Hamdi, Sekretaris BMBPSDM Kemenag, memberikan perspektif lebih tajam. Ia menyebut bahwa memimpin NU membutuhkan energi luar biasa.

 

“Memimpin NU lebih berat dari memimpin negara,” ujarnya separuh berkelakar, separuh serius.

 

Bagi Zainul Hamdi, kepemimpinan NU tidak bekerja dengan instruksi keras. Ia berjalan melalui persuasi, keteladanan, dan kewibawaan. Dibutuhkan figur yang ia ibaratkan sebagai “manusia setengah dewa” untuk merangkul dinamika warga NU yang sangat majemuk.

 

Relevansi NU: Selalu Ada untuk Zaman

 

Aktivis NU, Helmi Ali, mengingatkan bahwa sepanjang sejarahnya, NU tidak pernah absen menjawab tantangan zaman.

 

“Ketika pemerintah Saudi bergerak dengan paham Wahabinya, ketika penjajah mengeksploitasi sumber daya, keberadaan NU selalu menjawab kebutuhan zamannya,” ungkapnya.

 

Namun tantangan baru tengah mengintai: politik identitas, stagnasi pesantren, hingga perubahan sosial yang cepat.

 

“Pertanyaan mendesaknya adalah: bagaimana pesantren bisa benar-benar berdaya?” ujarnya.

 

Pesantren sebagai Tradisi Besar, Bukan Dogma Beku

 

Pengamat sosial-politik, Fachry Ali, menempatkan buku ini dalam lanskap tradisi intelektual pesantren. Ia menegaskan bahwa tradisi pesantren selalu menjadi ruang koreksi, bukan ruang untuk membekukan pemikiran.

 

“Pesantren didirikan oleh pribadi-pribadi besar dengan gagasan besar,” katanya.

 

Ia menghubungkan refleksi masa lalu dengan tantangan demografis masa kini—di mana era pasca-industri menuntut NU untuk membaca realitas politik dengan lebih tajam.

 

“NU kerap gagap membaca politik dan pemilu, meskipun banyak kadernya berada di dalam sistem. Konsolidasi harus terus dibahas agar unsur chaotic di NU dapat direproduksi menjadi energi perubahan.”

 

Buku yang Menjadi Kompas Masa Depan

 

Sesaat setelah acara peluncuran berakhir, satu hal terasa menonjol: buku Menavigasi Perubahan NU dan Pesantren tidak hanya menawarkan gagasan. Ia menjadi cermin untuk menilai apa yang sudah ditempuh, sekaligus kompas untuk membaca arah masa depan NU dan pesantren.

 

Ia memotret pergulatan besar antara tradisi dan modernitas, antara kultur dan struktur, antara kerumunan dan konsolidasi. Ia mengajak pembaca memahami betapa luas samudra pemikiran yang harus dinavigasi para pemimpin NU hari ini.

 

Dan pada akhirnya, buku ini menjadi satu tiang layar yang menguatkan langkah kapal besar bernama NU, agar terus bergerak—perlahan, pasti—menuju masa depan yang lebih terarah. (Pstk01)