YOGYAKARTA, PusakaJC.co - Sekitar pukul 20.00 WIB, gemuruh riak tawa terdengar membahana. Namun dari ekspresi mereka, menunjukkan bahwa keseriusan dalam belajar sungguh-sungguh ditanamkan dalam diri mereka.
Duduk melingkar berdiskusi dengan dikelilingi rak-rak yang dipenuhi oleh buku berkualitas. Ada enam rak besar tertata rapi dan semuanya dipadati oleh buku-buku. Selain buku, di sana juga ada tumpukan majalah Tempo, koran Jawa Pos, koran Harian Kompas dan beberapa koran-koran lokal Jogja, seperti Harian Kedaulatan Rakyat, Harian Merapi dan Minggu Pagi.
Membahas tentang teori semiotik Roland Barthes, diskusi pun semakin hangat dan seru meskipun malam semakin larut.
Itulah kegiatan rutinan Komunitas Kutub atau masyarakat Dusun Cabean, Desa Panggungharjo, kecamatan Sewon kabupaten, Bantul, Yogyakarta menyebutnya Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'ari.
Jika Anda melakukan perjalanan ke Jl Parangtritis, ada sebuah gapura bertuliskan Dusun Cabean, Panggungharjo, Sewon, disitulah Anda akan mendapati jalan masuk. Tidak lebih dari 300 meter, Anda akan mendapati sebuah mushola dengan tembok bercat hijau dan biru, di sampingnya ada sebuah asrama minimalis, di situlah mereka tidur, belajar, bercengkrama dengan rasa lapar dan menempa hidup dengan mengakrapi literasi.
Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'ari atau orang lebih akrab menyebutnya santri Kutub atau Komunitas Kutub, menjadi salah satu komunitas kepenulisan yang masih eksis sampai sekarang di Yogyakarta.
Komunitas Kutub merupakan unit pembelajaran di bawah naungan Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'ari. Santri yang tinggal di pesantren ini tidak banyak, hanya sekitar 20-an orang. Selain mempelajari seluk-beluk literasi, pesantren ini juga memiliki kegiatan ubudiyah atau keagamaan seperti mengaji setiap habis maghrib, mujahadah setiap malam Jumat, dan kegiatan keagamaan bersama masyarakat Dusun Cabean.
Memang rata-rata, santri-santri Kutub sudah dibekali ilmu agama sebelum ke Jogja. Artinya mereka memang lulusan pesantren di daerahnya masing-masing. Rata-rata mereka berasal dari Madura, meskipun sebagian kecil ada yang dari daerah lain.
Aldi Hidayat (23) mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Ilmu Hermeneutika Al-Qur'an sekaligus sebagai ketua pondok menemui tim Pustakajc.co, Minggu, (11/6/2023).
Ia menjelaskan beberapa kegiatan rutinan di Komunitas Kutub, diantaranya ada kajian sastra, ada kajian tokoh dan kajian malam Jum'at.
"Kalau hari Minggu kajian sastra, kalau malam kamis itu kajian tokoh kemudian kalau malam Jumat biasanya mujahadahan," ungkap Aldi kepada Pustakajc.co.
Aldi menjelaskan bahwa pendiri Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari adalah KH Zainal Arifin Thoha, atau para santri-santrinya lebih sering memanggil Gus Zainal. Pondok ini didirikan pada tahun 1998.
"Sebenarnya pondok ini pernah berpindah beberapa kali, yang pertama di Krapyak, dekat Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak Bantul. Kemudian berpindah lagi ke Desa Panggungharjo," ungkap pemuda asal Sumenep Madura itu.
Gus Zainal sendiri lahir di Kediri 5 Agustus 1972 dari pasangan KH. Moch. Thoha dan ibunya Hj. Solihatun. Gus Zainal memiliki istri bernama Maya Veri Oktavia dikaruniai 5 orang putra-putri. Namun takdir hidup berkata lain, pada 14 Maret 2007, Gus Zainal dipanggil keharibaan-Nya.
Di usianya yang belum genap 35 tahun, Gus Zainal telah mengantarkan para santri-santrinya menjadi penulis-penulis handal.
Tiga hal yang menjadi motto dalam hidup Gus Zainal yaitu spiritualitas, intelektualitas dan profesionalitas. Semangat yang diusung adalah semangat kemandirian.
"Santri-santri di sini tidak boleh menerima kiriman dari orang tua. Itulah semangat kemandirian yang dibangun oleh Gus Zainal," kata Aldi.
Lalu bagaimana santri-santri bisa survive? Mereka bisa survive dari hasil kepenulisan. Namun ada juga yang menyambung hidup dari hasil berjualan koran, hasil berjualan buku, ada yang jadi layouter dan lain sebagainya.
"Setelah sepenggal Gus Zainal, tampuk kepemimpinan pesantren di pegang KH Husni Amriyanto setelah menikahi Bunda Maya," tandas Aldi. (ans)