Seni Merawat Eksistensi Angkringan Jogja

komunitas | 14 Mei 2025 07:19

Seni Merawat Eksistensi Angkringan Jogja
dok jogjaistimewa

YOGYAKARTA, PustakaJC.co- Keberadaan angkringan tampaknya tidak akan tergerus zaman. Buktinya, lebih dari 80 tahun dikenalkan, angkringan masih bertahan hingga saat ini. Bahkan, angkringan yang dulu dikonotasikan sebagai tempat berkumpul orang tua, khususnya bapak-bapak, kini telah menjelma sebagai bagian ruang kolektif anak muda, terutama mahasiswa.

Tidak ada catatan pasti yang menunjukkan bagaimana awal mula angkringan diciptakan. Akan tetapi, Karso Dikromo atau Djukut dan Wiryo Jeman disebut menjadi pelopor hadirnya angkringan di Indonesia.

Karso Dikromo adalah seorang perantau asal Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Ia merantau ke Solo pada tahun 1930-an saat usianya masih 15 tahun.

Di Solo, Karso Dikromo bertemu dengan Wiryo Jeman. Keduanya lantas menjual makanan terikan – makanan khas Jawa Tengah dengan kuah kental dengan lauk tempe atau daging – dengan menggunakan pikulan tumbu. Tidak hanya menjual makanan, Karso Dikromo dan Wiryo Jeman kemudian turut menghadirkan aneka minuman pada pikulan tumbunya.

Ide segar dari Karso Dikromo dan Wiryo Jeman ini lah yang menjadi cikal bakal adanya angkringan.

Menariknya, pada awal kehadirannya, angkringan mulanya bernama “hik”. Tidak ada catatan pasti yang menjelaskan mengapa dinamakan “hik”. Salah satu sumber menyebut, “hik” merupakan akronim dari hidangan istimewa kampung (Indrawati dalam Azizah, 2015).

Meski demikian, lepopuleran warung “hik” di Solo pada 1940-an ini pada akhirnya merambah ke Yogyakarta pada 1950-an.

Di Yogyakarta ini lah nama angkringan lahir.

Nama angkringan tercipta tidak terlepas dari suasana dan kondisi di tempat tersebut. Angkringan berasal dari Bahasa Jawa, yakni “angkring” atau “nangkring”, yang artinya duduk santai dan lebih bebas.

Di angkringan, pembeli dapat duduk di sebuah kursi panjang, menghadap gerobak yang dipenuhi dengan aneka makanan, atau beberapa angkringan juga menyediakan tikar agar pembeli dapat duduk lesehan.

Hal yang menarik dari angkringan sehingga eksistensinya hampir tidak pernah mati ialah bahwa angkringan menyediakan makanan dengan harga yang relatif murah. Masyarakat Jawa biasanya menyebut sebagai sego kucing. Istilah ini merujuk pada nasi bungkus dengan porsi kecil dan lauk sederhana. Biasanya lauk yang ditawarkan berupa sambal teri dan aneka oseng-oseng.

Dalam kultur masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta, angkringan biasanya buka sekitar pukul 17.00 WIB hingga dini hari. Jam buka angkringan hingga tengah malam inilah yang menjadikan angkringan memiliki daya tarik tersendiri. Angkringan dianggap sebagai penyelamat saat seseorang merasakan lapar tengah malam.

Lebih dalam lagi, dari segi sosial, angkringan telah menjadi ruang publik bagi masyarakat. Angkringan biasanya menjadi tempat masyarakat untuk berbincang membicarakan berbagai hal, hingga berdiskusi.

Maka, tidak heran jika angkringan kini menjadi tempat favorit para mahasiswa. (int)