Pakar Hukum UMSurabaya Sebut Kasus Affan Masuk Extrajudicial Killing Seperti Tragedi Kanjuruhan

surabaya | 30 Agustus 2025 05:52

Pakar Hukum UMSurabaya Sebut Kasus Affan Masuk Extrajudicial Killing Seperti Tragedi Kanjuruhan
Keluarga pengemudi ojek online Affan Kurniawan menaburkan bunga di TPU Karet Bivak di Jakarta, (dok jawapos)

SURABAYA, PustakaJC.co – Kematian tragis Affan Kurniawan (21), driver ojek online yang meninggal setelah terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat demonstrasi di Jakarta pada 28 Agustus 2025, mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi. Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Dr. Satria Unggul Wicaksana menegaskan bahwa peristiwa ini masuk kategori extrajudicial killing, atau pembunuhan di luar putusan pengadilan.

 

“Peristiwa ini menunjukkan peringai brutal aparat kepolisian dalam menangani aksi massa. Kita masih ingat tragedi Kanjuruhan, ratusan nyawa melayang, namun hanya berujung pada sanksi etik,” ujarnya, dilansir dari jawapos.com, Sabtu, (30/8/2025).

Menurut Satria, melindas warga sipil tak bersenjata dengan kendaraan lapis baja merupakan pelanggaran serius hukum dan HAM.

 “Ini jelas masuk extrajudicial killing yang dilarang keras oleh Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR),” tegasnya.

Ia menambahkan, hak untuk hidup dan merasa aman dijamin dalam UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

“Alih-alih melakukan reformasi, tindakan semacam ini justru menegasikan empati dan tanggung jawab moral aparat sebagai pejabat publik yang digaji dari uang rakyat,” tambah Satria.

Dekan Fakultas Hukum UMSurabaya itu juga menyinggung Perkap Nomor 1 Tahun 2009 dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan oleh polisi. Dalam aturan tersebut, penggunaan kendaraan taktis hanya boleh dilakukan jika tidak ada alternatif lain yang masuk akal untuk menghentikan tindak kejahatan.

“Dalam konteks ini, korban tidak melakukan tindak kejahatan apalagi melawan. Ia justru menjadi korban kekuatan yang eksesif dan tak proporsional. Ini jelas pelanggaran prosedur,” ungkapnya.

Satria mendesak Presiden RI dan Kapolri bertanggung jawab penuh serta membuka ruang penyelidikan independen oleh lembaga seperti Komnas HAM demi transparansi.

“Reformasi Polri harus menyentuh akar persoalan. Kasus-kasus kekerasan aparat yang berulang adalah bukti reformasi selama ini belum maksimal,” jelas Dekan Fakultas Hukum UMSurabaya itu.

Ia juga mengingatkan bahwa aparat keamanan bersenjata seharusnya ditugaskan melawan ancaman negara yang nyata, bukan terhadap rakyat yang menyampaikan pendapat.

 “Peristiwa ini adalah alarm darurat HAM yang harus segera ditangani agar tidak menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia,” pungkasnya. (ivan)