SURABAYA, PustakaJC.co – Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi memastikan bahwa kebijakan membatasi masuknya Trans Jatim Koridor VII ke Terminal Intermoda Joyoboyo (TIJ) bukanlah bentuk penolakan, melainkan upaya menjaga ekosistem transportasi publik lokal tetap hidup. Pemkot bahkan membuka peluang integrasi tiket antara Suroboyo Bus dan Trans Jatim.
“Tidak ada ketika ada transportasi masuk, akan mematikan transportasi lainnya,” tegas Eri, dikutip dari jawapos.com, Rabu, (23/7/2025).
Eri menjelaskan bahwa Suroboyo Bus dan angkutan feeder Wira-Wiri telah memiliki trayek dan izin resmi untuk melayani warga Surabaya dari batas kota hingga ke pusat. Ia khawatir jika Trans Jatim langsung masuk ke terminal-terminal dalam kota, hal ini akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
“Kalau tiba-tiba dimasukin transportasi lain, terus bagaimana nasibnya transportasi yang sudah ada?” ujar Eri. “Saya Cuma ingin satu: tidak mematikan yang lainnya.”
Terkait tarif dan sistem tiket, Eri menyatakan keterbukaan penuh terhadap integrasi tiket antara dua layanan tersebut. Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya, menurutnya, sudah menjalin komunikasi aktif dengan Dishub Provinsi Jawa Timur.
“Terus nanti biayanya seperti apa? Ayo monggo-monggo saja. Kadishub sudah koordinasi dengan Kadishub Provinsi,” tambah Walikota Surabaya ini.
Kepala Dishub Jatim, Nyono, turut menghormati sikap Pemkot Surabaya. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak mempermasalahkan pembatasan itu, dan saat ini fokus mengembangkan rute baru dari Terminal Lamongan ke Paciran, yang terhubung dengan Koridor 5 Trans Jatim.
“Sudah kami rapat dua kali, tetapi belum ada keputusan. Mau Trans Jatim dapat setengah, mereka satu, atau sebaliknya, itu oke. Yang penting penumpang terlayani,” jelas Nyono.
Dengan semangat kolaboratif, Eri menegaskan bahwa tujuan utama Pemkot adalah membangun sistem transportasi kota yang saling menguatkan, bukan bersaing satu sama lain.
“Ketika ada transportasi yang masuk, transportasi yang sudah ada tidak mati. Kalau semua dimasuki dan trayek kita hilang, ya semuanya hilang nanti,” pungkasnya.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa pembangunan transportasi publik tidak semata soal konektivitas, tapi juga soal perlindungan terhadap layanan yang sudah lebih dulu hadir dan berperan melayani warga kota. (ivan)