SURABAYA, PustakaJC.co - Di era ketika kecerdasan buatan (AI) bisa membuat lukisan ala Van Gogh dan menulis puisi dengan gaya Chairil Anwar, batas antara kreativitas manusia dan mesin mulai memudar. Sejak dekade 1960-an, AI mulai memengaruhi seni, seperti melalui program AARON karya Harold Cohen yang menjadi salah satu sistem AI pertama yang mampu menghasilkan gambar dan lukisan secara otonom.
Kini, teknologi digunakan di berbagai belahan dunia, terutama di pusat-pusat industri kreatif yang mengandalkan algoritma untuk mendukung atau bahkan menggantikan peran seniman.
Perusahaan teknologi dan konsumen yang menginginkan efisiensi menjadi pihak yang paling diuntungkan, sementara seniman konvensional menghadapi tantangan eksistensial. Meski AI mampu meniru pola dan estetika, "rasa" yang muncul dari pengalaman, emosi, dan intuisi manusia tetap menjadi elemen tak tergantikan dalam seni.
Di tengah kemajuan ini, masa depan seni bergantung pada bagaimana manusia dan mesin bisa berjalan berdampingan, menjaga agar seni tetap menjadi cerminan jiwa, bukan sekadar hasil perhitungan algoritma.