Pada awal pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V, kondisi pemerintahan Kesultanan Yogyakarta tidak stabil. Salah satunya disebabkan oleh perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Perlawanan yang kemudian dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa itu berhasil menggerakkan hampir semua penduduk di Pulau Jawa bagian tengah dan selatan. Oleh karena itu, pada 17 Agustus 1826, kedudukan Sri Sultan Hamengkubuwono V sebagai Sultan Yogyakarta untuk sementara waktu digantikan oleh kakek buyutnya, Sri Sultan Hamengkubuwono II. Perang Jawa, yang menimbulkan kerugian besar bagi Belanda, mulai mereda setelah Pangeran Diponegoro ditangkap.
Setelah itu, situasi di Yogyakarta sudah mulai lebih stabil. Maka, pada 17 Januari 1828, Sri Sultan Hamengkubuwono V kembali bertakhta di keraton. Namun, Sri Sultan Hamengku Buwono V baru memegang kendali pemerintahan secara penuh pada 1836, ketika usianya menginjak 16 tahun. Ditentang oleh Hamengkubuwono VI Setelah memegang kendali pemerintahan, Sri Sultan Hamengkubuwono V merekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia Belanda.
Hal ini sengaja dilakukan sebagai bentuk taktik pasif, yaitu melakukan perlawanan tanpa melalui pertumpahan darah. Hamengkubuwono V berharap dengan dekatnya hubungan Keraton Yogyakarta dengan Hindia Belanda mampu membawa kesejahteraan dan keamanan bagi rakyatnya.