Namun, langkahnya tersebut ditentang oleh beberapa pejabat keraton, termasuk adiknya sendiri, Gusti Raden Mas Mustojo (yang nantinya bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono VI). Mereka menganggap tindakan Hamengkubuwono V dengan bekerja sama dengan Belanda adalah tindakan pengecut, sehingga dukungan terhadapnya pun semakin berkurang. Di sisi lain, selama Hamengkubuwono V memimpin, seni dan sastra semakin berkembang. Banyak karya sastra dan keris pusaka keraton yang dibuat atas instruksi dari Hamengkubuwono V.
Sri Sultan Hamengkubuwono V tutup usia pada 5 Juni 1855 setelah ditikam oleh selirnya sendiri. Jasadnya dikebumikan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Hamengkubuwono V wafat tanpa memiliki seorang putra. Oleh sebab itu, takhta keraton pun jatuh ke tangan sang adik, Raden Mas Mustojo, yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Peninggalan Salah satu karya besar Sri Sultan Hamengkubuwono V adalah Serat Makutha Raja, yang disebut mengandung banyak prinsip dasar bagaimana menjadi seorang raja yang baik. Serat Makutha Raja ini juga dijadikan pedoman bagi para penguasa keraton selanjutnya. Hamengkubuwono V juga memprakarsai Gendhing Gati, yang memadukan alat musik diatonis seperti trompet, trombon, suling, dan berbagai jenis drum. Selain itu, beberapa peninggalannya adalah Tari Serimpi Renggawati dan mengembangkan seni wayang orang. Ada lima judul lakon yang kerap dipentaskan, yaitu Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi, dan Pregiwa-Pregiwati.