Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota Gede sekarang, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta. Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi Kumpeni Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Berikut PustakaJC sajikan biodata raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Oleh: Intan Permata Ayu
Masa pemerintahan Hamengkubuwono V terbagi menjadi dua periode, yaitu antara 19 Desember 1823 hingga 17 Agustus 1826, dan periode kedua sejak 17 Januari 1828 hingga 5 Juni 1855. Jeda dalam periode pemerintahannya yang diselingi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono II ini terjadi karena ketidakstabilan politik di dalam Kesultanan Yogyakarta.
Terlebih lagi, saat itu usia Sri Sultan Hamengkubuwono V masih belia, sehingga masih didampingi oleh wali. Sri Sultan Hamengku Buwono V baru memegang kendali pemerintahan secara penuh pada 1836, ketika usianya menginjak 16 tahun.
Bertakhta sejak kecil Sri Sultan Hamengkubuwono V lahir pada 24 Januari 1820 dengan nama asli Gusti Raden Mas Gathot Menol. Ia merupakan putra keenam dari Sri Sultan Hamengkubuwono IV dan Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Pada 1823, ketika Hamengkubuwono IV wafat, Gusti Raden Mas Gathot Menol diangkat sebagai penerus takhta Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono V.
Dikarenakan usianya yang masih sangat belia, yaitu tiga tahun, maka dibentuklah dewan perwalian yang bertanggung jawab untuk mendampingi tugas-tugas pemerintahan. Anggota dewan perwalian ini terdiri dari beberapa tokoh, yaitu: Ratu Ageng (nenek Sultan sekaligus permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono III) Ratu Kencono (ibu Sultan sekaligus permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono IV) Pangeran Mangkubumi (Putra Sri Sultan Hamengkubuwono II) Pangeran Diponegoro Dewan perwalian itu hanya berwenang mengawasi keuangan keraton, sedangkan pelaksanaan pemerintahan berada di tangan Patih Danurejo III, di bawah pengawasan residen Belanda.
Pada awal pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V, kondisi pemerintahan Kesultanan Yogyakarta tidak stabil. Salah satunya disebabkan oleh perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Perlawanan yang kemudian dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa itu berhasil menggerakkan hampir semua penduduk di Pulau Jawa bagian tengah dan selatan. Oleh karena itu, pada 17 Agustus 1826, kedudukan Sri Sultan Hamengkubuwono V sebagai Sultan Yogyakarta untuk sementara waktu digantikan oleh kakek buyutnya, Sri Sultan Hamengkubuwono II. Perang Jawa, yang menimbulkan kerugian besar bagi Belanda, mulai mereda setelah Pangeran Diponegoro ditangkap.
Setelah itu, situasi di Yogyakarta sudah mulai lebih stabil. Maka, pada 17 Januari 1828, Sri Sultan Hamengkubuwono V kembali bertakhta di keraton. Namun, Sri Sultan Hamengku Buwono V baru memegang kendali pemerintahan secara penuh pada 1836, ketika usianya menginjak 16 tahun. Ditentang oleh Hamengkubuwono VI Setelah memegang kendali pemerintahan, Sri Sultan Hamengkubuwono V merekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia Belanda.
Hal ini sengaja dilakukan sebagai bentuk taktik pasif, yaitu melakukan perlawanan tanpa melalui pertumpahan darah. Hamengkubuwono V berharap dengan dekatnya hubungan Keraton Yogyakarta dengan Hindia Belanda mampu membawa kesejahteraan dan keamanan bagi rakyatnya.
Namun, langkahnya tersebut ditentang oleh beberapa pejabat keraton, termasuk adiknya sendiri, Gusti Raden Mas Mustojo (yang nantinya bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono VI). Mereka menganggap tindakan Hamengkubuwono V dengan bekerja sama dengan Belanda adalah tindakan pengecut, sehingga dukungan terhadapnya pun semakin berkurang. Di sisi lain, selama Hamengkubuwono V memimpin, seni dan sastra semakin berkembang. Banyak karya sastra dan keris pusaka keraton yang dibuat atas instruksi dari Hamengkubuwono V.
Sri Sultan Hamengkubuwono V tutup usia pada 5 Juni 1855 setelah ditikam oleh selirnya sendiri. Jasadnya dikebumikan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Hamengkubuwono V wafat tanpa memiliki seorang putra. Oleh sebab itu, takhta keraton pun jatuh ke tangan sang adik, Raden Mas Mustojo, yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Peninggalan Salah satu karya besar Sri Sultan Hamengkubuwono V adalah Serat Makutha Raja, yang disebut mengandung banyak prinsip dasar bagaimana menjadi seorang raja yang baik. Serat Makutha Raja ini juga dijadikan pedoman bagi para penguasa keraton selanjutnya. Hamengkubuwono V juga memprakarsai Gendhing Gati, yang memadukan alat musik diatonis seperti trompet, trombon, suling, dan berbagai jenis drum. Selain itu, beberapa peninggalannya adalah Tari Serimpi Renggawati dan mengembangkan seni wayang orang. Ada lima judul lakon yang kerap dipentaskan, yaitu Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi, dan Pregiwa-Pregiwati.