KH Ahmad Dahlan

Masa Awal Perintisan Muhammadiyah

tokoh | 23 November 2022 18:45

Masa Awal Perintisan Muhammadiyah
Dok kabar muhammadiyah

Tidak hanya sebagai ulama yang alim alamah tetapi juga disebut-sebut sebagai sosok pembaru Islam dari tanah Jawa. Beliaulah KH Ahmad Dahlan.

 

Oleh: Annas Sholahuddin

 

Salah satu faktor yanb ditengarai menjadi hal yang berpengaruh bagi pemikiran Kiai Dahlan. Yakni, menetapnya ia selama lima tahun di Makah ketika Sang Kiai menunaikan ibadah haji saat usianya 15 tahun.

 

Saat itulah, ia mulai tertarik dengan pemikiran-pemikiran beberapa tokoh diantaranya pemikiran pembaharu Islam, seperti Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah, dan Rasyid Ridha atau ulama-ulama pemuka di Mekkah.

 

Dalam hal ini, Farid Setiawan mengungkapkan dalam bukunya Kebijakan pendidikan Muhammadiyah, 1911-1942, predikat pembaru di kalangan Islam Jawa tidaklah berlebihan disandangnya, sebab dalam kitab at-Tauhid karangan Muhammad Abduh yang diterjemahkan Ahmad Hani disebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan merupakan seorang mujadid Islam abad ke-20 untuk tanah Jawa.

 

Argumen ini diperkuat Haedar Nashir bahwa prinsip-prinsip gerakan yang ditampilkan Kiai Dahlan memang telah mencerminkan dirinya sebagai seorang mujadid yang menonjol di negeri ini.

 

Menurut Farid penilaian dan pemberian predikat itu jelas merupakan suatu bentuk apresiasi terhadap usaha-usaha pembaruan yang telah dilakukan Kiai Dahlan. 

 

Gagasan pembaruannya ditanamkan di organisasi jami'ah keumatan bernama Muhammadiyah sebagai implementasi Al-Qur'an dan hadist. Muhammadiyah sendiri berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 di Kauman, Yogyakarta.

 

"Hal ini merupakan sikap yang lumrah. Pada umumnya, setiap penilaian biasanya di-berikan berdasarkan prestasi gemilang yang telah ditorehkan seseorang," ucap Farid.

 

Lantas, bagaimana dengan penilaian orang terhadap Kiai Dahlan tatkala awal merintis gerakan? 

 

Dikutip dari muhammadiyah.or.id, ide gerakan mendirikan Muhammadiyah didapatkan Kiai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.

 

Selain itu, dalam berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan juga bertukar pikiran dengan beberapa tokoh dari Boedi Oetomo yaitu R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo.

 

Saat itu, tidak banyak media yang menyoroti aktivitas Kiai Dahlan. Bahkan, pemerintah kolonial Hindia Belanda pun kurang memberi perhatian serius terhadap pribadi, gagasan, dan gerakan yang dikembangkannya.

 

Keterangan tersebut jelas memberi pesan kuat bahwa pada masa awal merintis dan mengembangkan gerakannya, Kiai Dahlan tidak dipandang sebagai pribadi yang istimewa. 

 

Publik, baik media massa maupun pemerintah kolonial Hindia Belanda, seakan tidak begitu menghiraukan aktivitas yang dikembangkannya. 

 

Pembaruan yang dilakukannya pun seakan tidak dipandang sebagai suatu kegiatan yang penting dan membahayakan. 

 

Diduga pandangan demikian itu muncul lantaran pembaruan yang dilakukan Kiai Dahlan tidak dilancarkan secara konfrontatif untuk melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda, melainkan lebih mengedepankan pada aspek edukasi dan humanisasi. 

 

Lambat laun, kata Faris gebrakan pembaruan yang dilakukan Kiai Dahlan rupanya telah mengejutkan banyak orang. 

 

"Mereka yang pada mulanya tidak memberikan perhatian serius pun kemudian terbelalak setelah melihat hasil dari benih pembaruan yang ditanamkannya," ungkapnya.