SURABAYA, PustakaJC.co - KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bukan sekadar Presiden ke-4 Republik Indonesia. Ia adalah sosok langka yang menjadikan kesederhanaan sebagai pijakan kepemimpinan dan menjadikan rakyat sebagai kawan seperjalanan, bukan sekadar objek kekuasaan.
Nama Gus Dur lekat dengan keberanian, ketegasan, dan ketulusan. Lahir dari keluarga besar Nahdlatul Ulama cucu pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari dan putra Menteri Agama RI KH. Wahid Hasyim Gus Dur justru menjauhi kemewahan. Alih-alih menunjukkan elitisme, ia memilih hidup yang merakyat dan bersahaja. Dilansir dari laman nu.or.id, Rabu, (23/4/2025).
Salah satu momen paling membekas dalam sejarah politik Indonesia adalah saat pelengseran Gus Dur dari kursi presiden. Di tengah situasi panas dan penuh tekanan, Gus Dur keluar dari Istana mengenakan celana pendek yang biasa ia pakai untuk tidur. Sebuah pemandangan yang tak biasa dari seorang presiden, namun justru memperlihatkan sikap legawa dan pesan moral: jabatan tidak mengubah jati diri seseorang.
Tak hanya itu, Gus Dur juga membuka Istana Negara untuk rakyat jelata. Siapa saja boleh masuk, bahkan yang bersandal jepit atau datang dengan bajaj. Ia percaya, rumah negara harus terbuka untuk seluruh warga negara. Dalam berbagai kesempatan, ia juga tampil sederhana. Dalam acara Kongkow Bareng Gus Dur yang disiarkan radio KBR 68 H, Gus Dur tak sungkan makan gorengan seperti bakwan dan tahu tempe bersama masyarakat.
Kesederhanaan Gus Dur juga tercermin dalam ucapannya yang terkenal,
“Gitu aja kok repot.” Sebuah kalimat ringan, namun sarat makna. Menurut Musa A. M. dalam Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur (Erlangga, 2010:23), kalimat itu menunjukkan keprihatinannya atas birokrasi yang terlalu rumit dan menghambat pelayanan publik.
Karena itu pula, Gus Dur berani membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan yang dianggap tak efektif pasca-Orde Baru.
Simbol-simbol kekuasaan juga tidak menjadi penting baginya. Ia menolak kawalan berlebihan dan publikasi berlebihan saat kunjungan. Sebagai Presiden, ia justru memilih tetap menjadi manusia biasa tanpa jarak, tanpa sekat, dan tanpa pencitraan.
KH. Abdurrahman Wahid telah tiada, namun jejak kesederhanaannya tetap hidup. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan sejati lahir dari keikhlasan dan keberanian untuk menjadi manusia biasa. Di tengah krisis keteladanan, sosok Gus Dur menjadi pelita yang terus menyala mengingatkan bahwa seorang pemimpin tak harus tinggi hati, cukup rendah diri dan tulus melayani. (Ivan)